APAKAH TKW ITU HAMBA SAHAYA


TKW BUKAN HAMBA SAHAYA

Apakah boleh perlakuan terhadap TKW sama seperti hamba sahaya?

Jawaban:

Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 2014, Bab 1 Ketentuan Umum pasal 1 dalam Peraturan Menteri yang dimaksud dengan TKI/TKW adalah “Setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.”

Maka berdasarkan penjelasan ini bahwa TKW itu statusnya sama seperti para pekerja yang lainnya, yang memiliki kemerdekaan hidup dan memiliki hak untuk mendapatkan upah, sebagaimana Rasulullah saw mengarahkan dalam sabdanya yang berbunyi:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ اسْتِئْجَارِ الْأَجِيرِ حَتَّى يُبَيَّنَ لَهُ أَجْرُهُ...

Dari Abu Sa’id ra., berkata: Rasulullah Saw melarang untuk mempekerjakan seorang pekerja sehingga dijelaskan upahnya terlebih dahulu kepadanya. (Hr. Ahmad)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ.

Dari Ibnu Umar ra., berkata: Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (Hr. Ibnu Majah)

Sedangkan yang disebut dengan hamba sahaya dalam Bahasa Arab digunakan dengan kata ‘abiid, roqiiq dan roqobah. Yang memiliki arti manusia yang tidak memiliki kebebasan hidup, dengan kata lain kehidupannya ditentukan oleh pemiliknya atau majikannya, sebagaimana diungkapkan oleh Abu Bakar Jabir dalam kitab Minhajul Muslim: “Hamba sahaya diperlakukan oleh keumuman manusia pada saat itu tidak lebih sebagai alat yang digunakan untuk melayani dalam segala hal dan diperlakukan sebagai barang, sampai dibiarkan kelaparan, dipukul dan diberikan beban yang diluar dari kemampuannya, dan mereka menamai hamba sahaya itu dengan sebutan alat yang memiliki ruh serta barang yang bergerak yang bisa hidup.” (Minhajul Muslim, 453)

Islam mengarahkan dalam memperlakukan hamba sahaya itu layaknya sebagai manusia yang memiliki kehormatan, bahkan mengharamkan untuk memukul dan membunuhnya serta menganjurkan untuk diperlakukan dengan baik, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah:

۞ وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبٰى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْۢبِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ.

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak ya tim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnusabil, serta hamba sahaya yang kamu miliki. (Qs. An-Nisa [4]: 36)

عن ابن عمر قال: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ لَطَمَ مَمْلُوكَهُ أَوْ ضَرَبَهُ فَكَفَّارَتُهُ أَنْ يُعْتِقَهُ ».

Dari Ibnu Umar ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang menampar atau memukul hamba sahayanya, maka kaffarohnya adalah memerdekakannya.” (Hr. Muslim)

Berdasarkan keterangan ini, secara mafhum muwafaqoh, memperlakukan hamba sahaya saja harus dengan baik apalagi TKW yang statusnya sebagai seorang yang merdeka.

Kesimpulan:

1.        TKW statusnya sama seperti para pekerja yang lainnya, memiliki kemerdekaan hidup dan punya hak untuk mendapatkan upah.

2.       Memperlakukan hamba sahaya harus dengan baik seperti memperlakukan manusia yang memiliki kemerdekaan hidup yang memiliki kehormatan.

3.       Memperlakukan hamba sahaya saja harus dengan baik, apalagi memperlakukan TKW.

4.       Haram hukumnya memperlakukan TKW seperti memperlakukan kepada hamba sahaya yang tidak manusiawi.

Oleh: THAIFAH MUTAFAQQIHINA FIDDIN (Ust. H. Zae Nandang, Ust. H. U. Jalaluddin, Ust. H. M. Rahmat Najieb, Ust. H. Uus M. Ruhiat, Ust. H. Wawan Shofwan S., Ust. H. Wawa Suryana, Ust. H. Agus Ridwan, Ust. Amin Muchtar, Ust. H. M. Nurdin, Ust. Ginanjar Nugraha, Ust. H. Dede Tasmara, Ust. Latief Awaludin, Ust. Hamdan Abu Nabhan, Ust. Gungun Abdul Basith)

Ditulis ulang oleh: Hanafi Anshory

Bersumber dari: Majalah Risalah No. 1 Thn. 62 April 2024: Rubrik ISTIFTA, hlm. 37-38.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama