Dalam perjuangan kita—perjuangan yang bukan
sekadar kerja dunia, tetapi jihad di jalan Allah—ada dua bekal yang tak boleh
lepas dari hati kita: rojā’ (harapan) dan khauf
(rasa takut). Keduanya menjadi penopang agar langkah perjuangan tidak pincang.
A. Pentingnya
Keseimbangan Rojā’ dan Khauf
Imam al-Bukhari dalam
Shahih-nya
membuat sebuah bab berjudul ar-Rojā’ ma‘a al-Khauf,
“Harapan yang disertai Rasa Takut”. Mengapa beliau menaruh perhatian khusus
pada tema ini? Karena tanpa keseimbangan di antara keduanya, perjuangan kita
akan pincang. Imam al-‘Aini menjelaskan: Harapan yang berdiri sendiri
tanpa rasa takut akan membuat kita sombong, merasa pasti selamat, merasa amal
kita sudah cukup. Sebaliknya, rasa takut yang tidak disertai harapan akan
membuat kita putus asa, merasa perjuangan ini sia-sia. Keduanya sama-sama
merusak.
Rojā’ itu artinya, kalau kita pernah tergelincir,
kita tetap berbaik sangka kepada Allah, berharap ampunan-Nya, dan tidak
berhenti berjuang. Kalau kita beramal saleh, kita berharap amal itu diterima,
bukan malah merasa cukup lalu berhenti di tengah jalan.
Tetapi
hati-hati—rojā’ yang palsu adalah ketika seseorang terus menerus berbuat dosa,
tidak mau berhenti, tidak menyesal, tapi berkata dalam hati: “Allah Maha
Pengampun, aku pasti diampuni.” Itu bukan harapan, itu penipuan terhadap diri
sendiri.
B. Contoh
dari Para Sahabat
‘Aisyah ra. pernah
bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang ayat: “…orang-orang
yang memberikan sesuatu yang telah mereka berikan, sedang hati mereka takut…”
(QS. al-Mu’minun: 60). Ia bertanya, “Apakah mereka itu para pencuri dan
pezina?” Nabi ﷺ menjawab,
“Bukan. Mereka adalah orang yang berpuasa, bersedekah, dan salat, tetapi mereka
takut amalnya tidak diterima.”
Lihatlah, jamaah
sekalian, amal sebesar itu saja masih membuat para sahabat takut tidak
diterima, apalagi kita?
Sufyan bin ‘Uyaynah pernah berkata, tidak ada
ayat yang lebih berat baginya selain firman Allah dalam QS. al-Maidah: 68: “Kalian
tidak berada di atas sesuatu sampai kalian menegakkan Taurat, Injil, dan apa
yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian.” Ia memahaminya:
kalau Bani Israil diperintahkan menegakkan kitab mereka, maka kita pun
diperintahkan menegakkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan itu berat—karena
menegakkan al-Qur’an dan Sunnah berarti melaksanakan semua perintah-Nya,
meninggalkan semua larangan-Nya, membenarkan semua berita-Nya, tanpa ragu
sedikit pun.
C. Luasnya
Rahmat dan Dahsyatnya Azab Allah
Nabi ﷺ bersabda dalam hadis riwayat al-Bukhari: “Sesungguhnya Allah menciptakan rahmat
sebanyak seratus bagian. Sembilan puluh sembilan bagian Dia simpan di sisi-Nya,
dan satu bagian diturunkan kepada semua makhluk. Seandainya orang kafir
mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, ia tidak akan putus asa dari surga.
Dan seandainya seorang mukmin mengetahui azab yang ada di sisi Allah, ia tidak
akan merasa aman dari neraka.”
Inilah bekal yang
harus kita bawa dalam jihad jam’iyyah: harapan yang menguatkan
langkah, dan rasa takut yang menjaga hati. Harapan membuat kita terus melangkah
walau ada rintangan. Rasa takut membuat kita tidak berani menyeleweng dari
jalan-Nya.
Jika dua hal ini
seimbang di hati kita, insya Allah perjuangan ini akan selamat, amal kita akan
diterima, dan kita akan termasuk golongan yang diridai Allah. Imam al-‘Aini
menjelaskan:
أيُّ هٰذَا بَابٌ فِي بَيَانِ اسْتِحْبَابِ الرَّجَاءِ مَعَ الْخَوْفِ،
فَلَا يُقْطَعُ النَّظَرُ فِي الرَّجَاءِ عَنِ الْخَوْفِ، وَلَا فِي الْخَوْفِ
عَنِ الرَّجَاءِ، لِئَلَّا يَقْضِيَ فِي الْأَوَّلِ إِلَى الْكِبْرِ، وَفِي
الثَّانِي إِلَى الْقُنُوطِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا مَذْمُومٌ،
“Bab
ini menjelaskan anjuran untuk menggabungkan antara rasa harap (rojā’) dan rasa takut (khauf). Jangan sampai harapan dilepaskan
dari rasa takut, dan jangan pula rasa takut dilepaskan dari harapan. Karena,
jika hanya memiliki harapan tanpa rasa takut, seseorang bisa terjerumus pada
kesombongan. Sebaliknya, jika hanya memiliki rasa takut tanpa harapan, ia akan
jatuh pada keputusasaan. Keduanya sama-sama tercela.”
وَالْمَقْصُودُ مِنَ الرَّجَاءِ أَنَّ مَنْ وَقَعَ مِنْهُ تَقْصِيرٌ
فَلْيُحْسِنْ ظَنَّهُ بِاللَّهِ، وَيَرْجُو أَنْ يَمْحُوَ عَنْهُ ذَنْبَهُ،
وَكَذَا مَنْ وَقَعَ مِنْهُ طَاعَةٌ يَرْجُو قَبُولَهَا،
Yang
dimaksud dengan rojā’ adalah ketika seseorang melakukan kesalahan, ia tetap
berbaik sangka kepada Allah dan berharap agar dosanya dihapuskan. Begitu juga
ketika ia melakukan ketaatan, ia berharap agar amalnya diterima oleh Allah.
وَأَمَّا مَنْ
انْهَمَكَ فِي الْمَعْصِيَةِ، رَاجِيًا عَدَمَ الْمُؤَاخَذَةِ بِغَيْرِ نَدَمٍ
وَلَا إِقْلَاعٍ، فَهٰذَا غُرُورٌ فِي غُرُورٍ،
Namun,
jika seseorang tenggelam dalam kemaksiatan sambil berharap tidak akan dihukum,
tanpa ada penyesalan dan tanpa berhenti dari dosa tersebut, maka itu adalah
bentuk ketertipuan yang berlapis-lapis.
وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ مَاجَهْ مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ
الرَّحْمٰنِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ وَهْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قُلْتُ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، ﴿الَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ﴾،
أَهُوَ الَّذِي يَسْرِقُ وَيَزْنِي؟ قَالَ: لَا، وَلٰكِنِ الَّذِي يَصُومُ،
وَيَتَصَدَّقُ، وَيُصَلِّي، وَيَخَافُ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُ.
Imam Ibn Majah meriwayatkan dari jalur
‘Abdurrahman bin Sa‘id bin Wahb, dari ayahnya, dari ‘Aisyah ra., ia berkata: “Aku
bertanya, ‘Wahai Rasulullah, firman Allah: “…orang-orang yang memberikan sesuatu
yang telah mereka berikan, sedang hati mereka takut…” (QS.
al-Mu’minun: 60), apakah maksudnya orang yang mencuri dan berzina?’ Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Bukan, tetapi maksudnya adalah orang yang berpuasa,
bersedekah, dan salat, namun ia takut kalau amalnya tidak diterima.’” (‘Umdatul
Qari Syarh Shahih al-Bukhari, 23:66)
Imam
al-Bukhari juga menukil ucapan Sufyan bin ‘Uyaynah (107–198 H):
مَا فِي الْقُرْآنِ آيَةٌ أَشَدُّ عَلَيَّ مِنْ: ﴿قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ
لَسْتُمْ عَلَىٰ شَيْءٍ حَتّٰى تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا
أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ﴾ [المائدة: 68]
“Tidak
ada ayat dalam Al-Qur’an yang lebih berat bagiku daripada ayat: ‘…Kalian tidak
berada di atas sesuatu (agama) sampai kalian menegakkan Taurat, Injil, dan apa
yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian…’ (QS. al-Maidah:
68).” (Shohih
al-Bukhori: Kitab
ar-Riqoq), Syaikh al-‘Utsaimin menjelaskan:
وَالْخِطَابُ هُنَا
لِبَنِي إِسْرَائِيلَ وَلِأَهْلِ الْكِتَابِ: {لَسْتُمْ عَلَىٰ شَيْءٍ حَتَّىٰ
تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ}، فَيَقُولُ رَحِمَهُ ٱللَّهُ: إِنَّ مَا
خَاطَبَ ٱللَّهُ بِهِ بَنِي إِسْرَائِيلَ خِطَابٌ لَنَا، فَكَأَنَّهُ يَقُولُ:
إِذًا نَحْنُ لَسْنَا عَلَىٰ شَيْءٍ حَتَّىٰ نُقِيمَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ
وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ. (شرح كتاب الرقاق ـ من صحيح البخاري ـ: 1: 63)
bahwa
meskipun ayat ini ditujukan kepada Bani Israil dan Ahlul Kitab, peringatannya
juga berlaku bagi umat Islam. Seakan-akan maknanya: “Kalian pun tidak dianggap beragama
sampai menegakkan al-Qur’an, as-Sunnah, dan semua yang diturunkan kepada Nabi ﷺ.”
وَإِقَامَتُهُمَا
صَعْبَةٌ صَعْبَةٌ، مَنْ ٱلَّذِي يَسْتَطِيعُ أَنْ يُقِيمَ الْكِتَابَ
وَالسُّنَّةَ فِي كُلِّ أَمْرٍ، وَفِي كُلِّ مَا نَهَىٰ، وَفِي كُلِّ خَيْرٍ،
بِحَيْثُ يَفْعَلُ كُلَّ مَأْمُورٍ، وَيَدَعُ كُلَّ مَنْهِيٍّ، وَيُصَدِّقُ
تَصْدِيقًا لَا شَكَّ مَعَهُ فِي كُلِّ خَبَرٍ، هٰذَا مِنْ أَصْعَبِ مَا يَكُونُ، (شرح
كتاب الرقاق ـ من صحيح البخاري ـ: 1: 63)
Menegakkan
al-Qur’an dan Sunnah bukan perkara mudah. Hal itu mencakup melaksanakan semua
perintah, meninggalkan semua larangan, serta membenarkan setiap berita tanpa
keraguan sedikit pun. Ini adalah salah satu perkara yang paling sulit dilakukan
oleh seorang hamba.
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الرَّحْمَةَ يَوْمَ خَلَقَهَا
مِائَةَ رَحْمَةٍ فَأَمْسَكَ عِنْدَهُ تِسْعًا وَتِسْعِينَ رَحْمَةً وَأَرْسَلَ
فِي خَلْقِهِ كُلِّهِمْ رَحْمَةً وَاحِدَةً فَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ بِكُلِّ
الَّذِي عِنْدَ اللَّهِ مِنْ الرَّحْمَةِ لَمْ يَيْئَسْ مِنْ الْجَنَّةِ وَلَوْ
يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ بِكُلِّ الَّذِي عِنْدَ اللَّهِ مِنْ الْعَذَابِ لَمْ
يَأْمَنْ مِنْ النَّارِ.
Hadis dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Aku
mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya
Allah menciptakan rahmat pada hari Dia menciptakannya, sebanyak seratus bagian.
Allah menyimpan di sisi-Nya sembilan puluh sembilan bagian, dan menurunkan satu
bagian rahmat kepada seluruh makhluk-Nya. Seandainya orang kafir mengetahui
semua rahmat yang ada di sisi Allah, niscaya ia tidak akan berputus asa dari
surga. Dan seandainya seorang mukmin mengetahui semua azab yang ada di sisi
Allah, niscaya ia tidak akan merasa aman dari neraka.’” (HR.
Bukhari no. 6469)
Al-Hafidz
Ibn Hajar al-‘Asqalani menukil penjelasan Ibn al-Jauzi bahwa rahmat Allah
adalah salah satu sifat-Nya yang agung. Rahmat ini bukanlah kelembutan seperti
rasa iba yang dimiliki manusia, melainkan gambaran yang memudahkan manusia
memahami perbandingan antara rahmat Allah dan rahmat makhluk. Rahmat Allah jauh
melebihi semua bentuk kasih sayang makhluk.
D. Pelajaran untuk Jihad Jam’iyyah
Dalam konteks jihad jam’iyyah (perjuangan
kolektif organisasi Islam), konsep rojā’ dan khauf menjadi pilar
penting.
- Rojā’
menjaga semangat juang agar terus berharap kepada pertolongan dan ridha
Allah, meskipun menghadapi kesulitan.
- Khauf
mencegah para pejuang menjadi ujub, merasa pasti selamat, atau meremehkan
kewajiban syariat.
- Kombinasi
keduanya melahirkan sikap seimbang: penuh semangat namun tetap waspada
terhadap kelalaian.
Seorang aktivis atau anggota jam’iyyah harus selalu
menegakkan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam setiap langkah perjuangannya. Harapan
kepada rahmat Allah menjadi sumber motivasi, sementara rasa takut akan
murka-Nya menjadi benteng dari penyimpangan.
Seperti sabda Nabi ﷺ, seorang mukmin yang taat tetap takut
amalnya tidak diterima, dan orang kafir pun seandainya tahu luasnya rahmat
Allah, tidak akan pernah putus asa dari surga. Keseimbangan ini adalah kunci
keberhasilan dalam perjuangan kolektif yang diridai Allah. Wallahu A’lam, Hanafi
Anshory, Anggota Dewan Pertimbangan PC Pemuda PERSIS Pangalengan.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan