PENJAJAH JAMIYYAH

PENJAJAH JAM'IYYAH

(Peringatan Keras bagi Pengemban Amanah)

 

Istilah "penjajahan" sering kali membangkitkan memori pahit akan eksploitasi dan perampasan hak. Namun, di dalam tubuh sebuah organisasi atau jam'iyyah, "penjajahan" dapat muncul dalam bentuk yang lebih halus, namun tak kalah merusak: penyalahgunaan wewenang, nepotisme, dan ambisi kekuasaan yang berbalut kepentingan organisasi. Ini adalah penjajahan moral, di mana pengurus yang seharusnya menjadi pelayan umat justru berubah menjadi "raja" yang mengeksploitasi sumber daya dan kepercayaan demi keuntungan pribadi.

 

Landasan Amanah

Dalam Islam, jabatan atau kepengurusan adalah sebuah amanah besar yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Mengkhianati amanah ini adalah dosa besar yang secara tegas dilarang oleh Allah SWT.

Allah berfirman dalam QS. Al-Anfal ayat 27:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui."

Menurut Tafsir Al-Qurthubi, pengkhianatan ini mencakup berbagai bentuk, termasuk penyelewengan harta, urusan, dan kekuasaan. Mengelola jam'iyyah adalah amanah dari Allah dan umat. Pengurus yang menyalahgunakan kekuasaan atau dana untuk kepentingan pribadi berarti telah mengkhianati amanah ini secara terang-terangan.

Penegasan tentang beratnya amanah juga disampaikan oleh Rasulullah , terutama dalam hadis peringatan kepada Abu Dzar: “Wahai Abu Dzar, engkau adalah lemah, dan sesungguhnya kepemimpinan itu amanah, dan sesungguhnya pada Hari Kiamat itu berupa kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan yang wajib darinya.” (HR. Muslim) Hadis ini secara gamblang menjelaskan bahwa jabatan—jika tidak ditunaikan dengan benar—adalah jalan menuju kehinaan di akhirat, bukan kemuliaan di dunia.

 

Bahaya Meminta Jabatan dan Penyelewengan Harta

Islam sangat tidak menganjurkan seseorang untuk meminta jabatan. Hal ini bukan karena Islam anti-kepemimpinan, melainkan untuk menjaga hati dari ambisi duniawi yang berpotensi merusak.

Rasulullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah: “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, karena jika kamu diberi jabatan bukan karena kamu memintanya, maka kamu akan ditolong, namun jika karena kamu yang meminta, maka kamu akan ditelantarkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mereka yang meminta jabatan menunjukkan ambisi pribadi, dan ini berbahaya bagi kemaslahatan umat. Rasulullah bahkan menegaskan, “Sesungguhnya kami tidak akan mengangkat orang yang meminta dan yang tamak kepadanya.”

Selain ambisi jabatan, penyelewengan harta (ghulul) adalah tindakan yang dikecam dalam Islam. Meskipun secara spesifik ghulul merujuk pada penyelewengan harta rampasan perang, para ulama meluaskan maknanya mencakup setiap penyelewengan harta publik atau amanah, termasuk dana jam'iyyah. Pelakunya diancam dengan hukuman yang berat.

 

Konsep Keadilan, Pengawasan, dan Transparansi

Tujuan utama sebuah kepemimpinan yang Islami adalah untuk menegakkan keadilan. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 58:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil."

Pengurus jam'iyyah yang menyelewengkan amanah berarti telah berbuat zalim terhadap anggota, donatur, dan umat secara keseluruhan. Tindakan ini berlawanan dengan esensi kepemimpinan yang adil. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya pemimpin yang paling dicintai oleh Allah dan paling dekat dengan-Nya adalah pemimpin yang adil, sedangkan yang paling jauh — dan paling keras siksaannya — adalah pemimpin yang sewenang-wenang (zalim).”

Untuk mencegah penyalahgunaan ini, diperlukan sistem pengawasan moral dan keadilan (hisbah). Dalam konteks modern, ini bisa diwujudkan melalui sistem pengawasan internal dan eksternal. Pengurus yang "menjajah" adalah mereka yang tidak memiliki integritas diri dan luput dari pengawasan.

Selain itu, prinsip syura (musyawarah) dan transparansi menjadi kunci. Pengurus yang otoriter, membuat keputusan sepihak demi kepentingan pribadi, dan menyembunyikan laporan keuangan, telah mengkhianati prinsip-prinsip syura yang dianjurkan dalam QS. Ali Imran ayat 159:

...وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِۗ...

Artinya: "...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah..."

 

Memilih Pemimpin yang Tepat: Antara Kompetensi dan Integritas

Hadis tentang disia-siakannya amanah menjadi peringatan paling relevan dalam konteks ini:

إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قِيلَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

"Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah datangnya hari kiamat." Seseorang bertanya, "Bagaimana cara menyia-nyiakannya, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah datangnya hari kiamat." (HR. Bukhari)

Makna "bukan ahlinya" tidak hanya merujuk pada kompetensi, tetapi juga integritas. Menyerahkan jabatan kepada orang yang tamak, tidak amanah, atau yang memiliki rekam jejak penyalahgunaan, sama saja dengan "menyerahkan domba kepada serigala," sebagaimana yang diilustrasikan oleh Abu Bakar ath-Tharthusi.

"Penjajah jam'iyyah" adalah mereka yang menampilkan diri sebagai pelayan umat, padahal sejatinya mengeksploitasi organisasi, seperti "orang-orang yang mencari keuntungan dunia dengan ‘menjual agama’," yang hati mereka seperti hati serigala.

 

Solusi

Untuk mengakhiri fenomena "penjajahan jam'iyyah," diperlukan tiga langkah strategis:

1.    Penegakan Syariat dalam Memilih Pengurus: Prioritaskan kriteria syura, kompetensi, dan integritas. Jangan jadikan kedekatan atau ambisi pribadi sebagai alasan.

2.    Kesadaran Publik (Jamaah): Anggota harus lebih kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh popularitas atau "simbol" kekuasaan.

3.   Tanggung Jawab Dunia dan Akhirat: Setiap pengurus harus menyadari bahwa pertanggungjawaban di hadapan Allah lebih utama daripada popularitas atau keuntungan sementara.

Pada akhirnya, jabatan adalah titipan. Jika ditunaikan dengan benar, ia akan menjadi bekal kebaikan; namun jika diselewengkan, ia akan menjadi kehinaan terbesar di akhirat. Semoga kita semua terhindar dari kehinaan ini dan senantiasa menjadi pengemban amanah yang jujur dan adil.

Wallâhu A’lam. Hanafi Anshory (Anggota Dewan Pertimbangan PC Pemuda PERSIS Pangalengan).

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama