LAFADZ AL-HADIS
مَنْ صَامَ
رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ [وفي
رواية]: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ
مِنْ ذَنْبِهِ.
“Siapa saja yang berpuasa Ramadhan dengan dasar iman, dan
berharap pahala dan ridha Allah, maka dosanya yang lalu pasti diampuni.” [dalam
riwayat lain]: “Siapa saja yang melakukan qiyam [di malam hari]
Ramadhan dengan dasar iman, dan berharap pahala dan ridha Allah, maka maka dosanya
yang lalu pasti diampuni.”
TAKHRIJ AL-HADIS
1.
Al-Bukhariy, Shahih al-Bukhariy: Bab Puasa Ramadhan
karena Mengharap Pahala bagian dari Iman, no. 38.
2.
Muslim, Shahih Muslim: Bab Anjuran Qiyam Ramadhan
yakni Tarawih, no. 760.
3.
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud: Syahr Romadlon: Bab
tentang Ibadah Bulan Ramadhan, 1: 520: 1374.
4.
An-Nasaiy, Sunan an-Nasaiy: Kitab ash-Shiyam: Bab
Pahala Barangsiapa yang Ibadah dan Puasa Ramadhan karena Iman dan Mencari
Pahala, 4: 157: 2203.
5.
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah: Kitab ash-Shiyam: Bab
Keterangan tentang Keutamaan Ramadhan, 1: 526: 1641.
6.
Ahmad, Musnad Ahmad: Musnad Abi Hurairah, 12:
91: 7170.
7.
Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban: Kitab ash-Shaum: Bab
Keutamaan Ramadhan, 8: 218: 3432.
8.
Al-Baihaqiy, as-Sunan ash-Shugra: Bab Keutamaan
Bulan Ramadhan baik Puasa ataupun Tarawihnya, 3: 373: 1399.
9.
Ath-Thabraniy, al-Mu’jam al-Ausath, 8: 344:
8821.
10. Al-Bazzar, Musnad
al-Bazzar, 2: 407: 8071.
11. Abu Ya’la, Musnad
Abu Ya’la: Musnad Abi Hurairah, 10: 336: 5930.
12. Ath-Thayalisiy,
Musnad ath-Thayalisiy, 4: 115: 2481.
13. Ibnu Abi
Syaibah, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2: 420.
14. Ibnu
Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, 3: 339: 241.
SYARAH AL-HADIS
Keempat belas imam pencatat hadis
di atas akhir sanadnya bersumber dari sahabat yang sama yakni Abu Hurairah ra. Adapun
dua sanad Imam Al-Bukhariy terkait hadis di atas di antaranya adalah
sebagai berikut:
Pertama:
قَالَ
البُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا ابْنُ سَلَامٍ قَالَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ فُضَيْلٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ.
Imam al-Bukhariy berkata: Telah menjelaskan kepada kami
Ibn Salam, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad ibn Fudhail, ia
berkata: Telah menjelaskan kepada kami Yahya ibn Sa’id, dari Abi Salamah, dari
Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa shaum
Ramadhan karena iman dan mengharap pahala diampuni baginya dosa-dosa masa
lalu.” HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari: Bab Puasa Ramadhan karena Mengharap Pahala bagian dari
Iman, 1: 16: 38.
Kedua:
قَالَ البُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَفِظْنَاهُ وَإِنَّمَا حَفِظَ
مِنَ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ
رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
Imam al-Bukhariy berkata: Telah menjelaskan kepada kami ‘Aliy
ibn ‘Abdillah: Telah menjelaskan kepada kami Sufyan, ia berkata: Kami telah
menghafal darinya, dia menghafal dari az-Zuhriy, dari Abi Salamah, dari Abi
Hurairah ra., dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Barang siapa shaum Ramadhan
karena iman dan mengharap pahala diampuni baginya dosa-dosa masa lalu. Dan barangsiapa
ibadah pada malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala diampuni
baginya dosa-dosa masa lalu.” HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari: Bab
Keutamaan Lailatul Qadar, 3: 45: 2014.
مَنْ قَامَ
رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barang siapa Qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap
pahala diampuni baginya dosa-dosa masa lalu.” HR. Al-Bukhari.
مَنْ قَامَ
لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ.
“Barang siapa ibadah pada malam Lailatul Qadar karena
iman dan mengharap pahala diampuni baginya dosa-dosa masa lalu.” HR.
Al-Bukhari.
فَمَنْ صَامَهُ
إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنَ الذُّنُوبِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ.
“Maka barangsiapa shaum pada bulan itu karena iman dan
mengharap pahala ia keluar (terbebas) dari dosa-dosanya seperti hari ia
dilahirkan oleh ibunya.” HR. Ahmad.
Memperhatikan hadis-hadis di atas, artinya terdapat tiga ibadah
Ramadhan yang oleh Nabi Saw. ditekankan untuk imanan wah-tisaban, yakni:
1.
Puasa (shaum)nya.
2.
Qiyam (tarawih)nya.
3.
Ibadah Lail (malam)
al-Qadar-nya.
Secara global semua ini isyarat
bahwa memang ibadah Ramadhan itu dalam segala aspeknya mesti senantiasa menjaga
iman dan keikhlasan dengan hanya mengharap pahala dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy
menjelaskan:
وَالْمُرَاد
بِالْإِيمَانِ الِاعْتِقَاد بِحَقِّ فَرْضِيَّةِ صَوْمِهِ ، وَبِالِاحْتِسَابِ
طَلَب الثَّوَابِ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى . وَقَالَ الْخَطَّابِيّ : اِحْتِسَابًا
أَيْ عَزِيمَة ، وَهُوَ أَنْ يَصُومَهُ عَلَى مَعْنَى الرَّغْبَة فِي ثَوَابِهِ
طَيِّبَةً نَفْسُهُ بِذَلِكَ غَيْرَ مُسْتَثْقِل لِصِيَامِهِ وَلَا مُسْتَطِيل
لِأَيَّامِهِ.
“Maksud dari lafadz, “Iman[an]” adalah meyakini kewajiban
puasanya [Ramadhan]. Sedangkan maksud lafadz, “Ihtisab[an]” adalah mencari
pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Khatthabi berkata, “Ihtisab[an]”
maksudnya “Azimah”, yaitu berpuasa dengan konotasi mengharapkan pahala-Nya,
dengan jiwa yang bersih terhadapnya, tidak merasa berat menjalankan puasa, dan
mengulur-ulur harinya.” (al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath
al-Bariy syarah Shahih al-Bukhariy; 6: 138, asy-Syamilah)
Adapun Syaikh
al-Munawiy memaparkan:
مَنْ صَامَ
رَمَضَانَ إِيْمَاناً: تَصْدِيْقاً بِثَوَابِ اللهِ أَوْ أَنَّهُ حَقٌّ،
وَاحْتِسَاباً لأَمْرِ اللهِ بِهِ، طَالِباً الأَجْرَ أَوْ إِرَادَةَ وَجْهِ
اللهِ، لاَ لِنَحْوِ رِيَاءَ، فَقَدْ يَفْعَلُ المُكَلَّفُ الشَّيْءَ مُعْتَقِدًا
أَنَّهُ صَادِقٌ لَكِنَّهُ لَا يَفْعَلُهُ مُخْلِصاً بَلْ لِنَحْوِ خَوْفٍ أَوْ
رِيَاءَ.
“Siapa saja yang puasa Ramadhan dengan “iman[an]”, yaitu
membenarkan pahala Allah, bahwa pahala itu benar, dan dengan “ihtisab[an]”
semata karena menunaikan perintah Allah, dengan mengharap pahala, atau berharap
kepada Allah, bukan untuk tujuan riya’ [ditunjukkan kepada selain Allah].
Sebab, kadang seorang Mukallaf melakukan sesuatu, dia yakin bahwa itu benar,
tetapi dia tidak melakukannya dengan ikhlas, namun karena takut atau riya’.”
(Syaikh al-Munawiy, Faidh al-Qadir, 3: 406-407; asy-Syamilah)
Imam an-Nawawiy
pun menegaskan:
مَعْنَى إِيْمَاناً: تَصْدِيْقاً بِأَنَّهُ حَقٌّ مُقْتَصِدٌ فَضِيْلَتُهُ،
وَمَعْنَى اِحْتِسَاباً، أَنَّهُ يُرِيْدُ اللهَ تَعَالَى لاَ يَقْصُدُ رُؤْيَةَ
النَّاسِ وَلاَ غَيْرَ ذَلِكَ مِمَّا يُخَالِفُ الإِخْلاَصَ.
“Makna “Iman[an]” adalah membenarkan, bahwa itu memang
benar, dengan nilai keutamaan. Sedangkan makna “Ihtisab[an]” adalah dia
menginginkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan berharap dilihat manusia, dan
bukan yang lain. Sesuatu yang menyalahi keikhlasan.”
(an-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, 15: 42; asy-Syamilah)
Demikian pula
al-Hafidz Ibnu Jauziy menerangkan:
قَوْلُهُ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا” أيْ تَصْدِيْقًا بِالمَعْبُوْدِ
الآمِرِ لَهُ، وَعِلْمًا بِفَضِيْلَةِ الْقِيَامِ وَوُجُوْبِ الصِّيَامِ،
وَخَوْفًا مِنْ عِقَابِ تَرْكِهِ، وَمُحْتَسِبًا جَزِيْلَ أَجْرِهِ، وَهَذِهِ
صِفَةُ المُؤْمِنِ.
“Sabda Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallama: “Iman[an]” dan
“Ihtisab[an]” maksudnya adalah membenarkan Dzat yang Disembah, yang Maha
Memberi Perintah kepadanya, dengan meyakini keutamaan qiyamu lailnya, dan
kewajiban puasanya. Takut terhadap siksa-Nya ketika meninggalkannya, serta
berharap pahala-Nya yang berlimpah. Inilah sifat orang Mukmin.” [al-Hafidz
Ibnu Jauziy, Kasyf al-Musykil fi Hadits as-Shahihain, 1: 912;
Asy-Syamilah].
Kalau seseorang
mendasari puasanya karena dasar iman, mengharap pahala dan ridho, maka tentu
hatinya semakin tenang, lapang dan bahagia. Ia pun akan bersyukur atas nikmat
puasa Ramadhan yang ia dapati tahun ini. Hatinya tentu tidak merasa berat dan
susah ketika menjalani puasa. Sehingga ia pun terlihat berhati ceria dan
berakhlak yang baik. Lihat kitab Ramadhan karya Dr. Muhammad
bin Ibrahim Al Hamad, hal. 18.
Ibnu Baththol
rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud karena iman adalah membenarkan wajibnya
puasa dan ganjaran dari Allah ketika seseorang berpuasa dan melaksanakan qiyam
ramadhan. Sedangkan yang dimaksud “ihtisaban” adalah menginginkan pahala Allah
dengan puasa tersebut dan senantiasa mengharap wajah-Nya.” (Syarh Al Bukhari
libni Baththol, 7: 22).
Terkait pengampunan
dosa sebab serangkaian ibadah Ramadhan yang telah dijalankan serta efeknya
terhadap kehidupan, al-Ustadz Amin Saefullah Muchtar (Sekretaris Dewan Hisbah
PP PERSIS) pada situsnya, https://www.sigabah.com/pribadi-muslim-pasca-ramadhan/#_ftnref2
menjelaskan:
الْغَفْرُ: إِلْبَاسُ مَايَصُوْنُهُ عَنِ الدَّنَسِ.
“Al-Ghafru artinya memakaikan sesuatu yang akan
melindungi pemakainya dari noda atau kotoran.”
Kata ini
digunakan dalam makna pengampunan Allah, karena Allah melindungi seorang hamba
dari azab yang akan menyentuhnya. Ar-Ragib al-Asfahani menyatakan:
الغُفْرَانُ وَالْمَغْفِرَةُ مِنَ اللهِ أَنْ يَصُونَ العَبْدَ مِنْ أَنْ
يَمَسَّهُ العَذَابُ.
“Ghufran dan magfirah yang bersumber dari Allah
mengandung makna Allah memelihara seorang hamba dari azab yang akan
menyentuhnya.” Ar-Raghib al-Ashfahaniy, Al-Mufradat fii Gharib al-Quran,
III:191.
Adapun cara
memeliharanya:
- Allah
menutupi dosa orang itu
- Allah
tidak membuka serta memperlihatkan aib dan kejelekan dosanya kepada orang
lain di dunia dan akhirat,
- Allah
menghapuskan dosa-dosanya dan tidak menyiksanya karena dosa-dosa itu.
Demikian
sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, antara lain Imam ath-Thabari[Tafsir ath-Thabari, V:151],
Imam Ibnu Katsir[Tafsir Ibnu Katsir, II:305],
al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani[Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, XVIII:
63], dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha. [Tafsir al-Manar, IV:248]
Allah
menetapkan demikian atas dasar karunia dan rahmat-Nya, tanpa didahului dengan
permintaan ampun dari hambanya. Hal ini berbeda dengan penghapusan dosa melalui
Tobat dan Kifarat, karena keduanya mengharuskan adanya permintaan ampun dari
hambanya terlebih dahulu, yang kemudian dilanjutkan dengan pengamalan berbagai
amal shaleh yang telah ditetapkan dalam syariat Islam, seperti diterangkan
dalam surat ar-Ra’du:39, dan al-Furqan:70.
Ciri-ciri
Orang yang mendapat Magfirah
Sedangkan
ciri-ciri orang yang mendapat Magfirah, sekaligus ciri-ciri orang bertakwa,
dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran, antara lain sebagai berikut:
Ciri
Pertama
Orang yang
mendapat magfirah akan rajin menginfakkan harta bendanya dalam setiap keadaan,
baik dalam keadaan susah maupun dalam keadaan makmur; dalam keadaan suka maupun
dalam keadaan duka; dalam keadaan sehat maupun dalam keadaan sakit. Ciri
demikian itu dinyatakan oleh Allah Swt. dengan firman-Nya:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ.
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu
lapang maupun sempit.” (QS. Ali Imran: 134)
Dalam ayat lain
diungkap dengan redaksi:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهارِ سِرًّا
وَعَلانِيَةً.
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di
siang hari secara sembunyi dan terang-terangan.”
(QS. Al-Baqarah: 274)
Makna yang
dimaksud ialah bahwa mereka tidak kendur dan lupa oleh suatu urusan dalam
menjalankan ketaatan kepada Allah Swt. Mereka membelanjakan harta untuk
keridaan-Nya serta berbuat baik kepada sesamanya, baik kaum kerabat maupun
orang-orang lain, dengan berbagai macam kebajikan.
Ciri
Kedua
Orang yang
mendapat magfirah mampu menahan amarah, dapat mengendalikan emosi terhadap
orang yang berbuat salah kepada dirinya. Ciri demikian itu dinyatakan oleh
Allah Swt. dengan firman-Nya:
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ.
“dan orang-orang yang menahan amarahnya.” (QS.
Ali Imran: 134)
Ini berarti
muslim pemenang maghfirah memiliki derajat tinggi karena ia dapat menahan marah
karena Allah, padahal ia mampu dan memiliki kekuasaan untuk memarahinya, bukan
karena tidak bisa marah atau karena tidak berani memarahi.
Atas
kemampuannya mengendalikan emosi dalam berucap, sikap dan tindakan demikian
itu, Allah Swt. akan memberikan penghargaan sebagaimana dinyatakan dalam hadis
qudsi sebagai berikut:
يَقُولُ اللَّهُ تعالى: يا ابْنَ آدَمَ اذْكُرْنِي إِذَا غَضِبْتَ،
أَذْكُرُكَ إِذَا غَضِبْتُ فَلَا أُهْلِكُكَ فِيمَنْ أُهْلِكُ.
“Allah Swt. berfirman, ‘Hai anak Adam, ingatlah kepada-Ku
jika kamu marah, niscaya Aku mengingatmu bila Aku sedang murka kepadamu. Karena
itu, Aku tidak akan membinasakanmu bersama orang-orang yang Aku
binasakan.” HR. Ibnu Abu Hatim.
Demikian pula
dinyatakan oleh Nabi saw. melalui sabdanya:
مَنْ كَفَّ غَضَبَهُ كَفَّ اللهُ عَنْهُ عَذَابَهُ، وَمَنْ خزَنَ لِسَانَهُ
سَتَرَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنِ اعْتَذَرَ إلَى اللهِ قَبِلَ عُذْرَهُ.
“Barangsiapa mengekang amarahnya, niscaya Allah
menahan siksa-Nya terhadapnya. Dan barangsiapa mengekang lisannya, niscaya
Allah menutupi auratnya. Dan barangsiapa meminta maaf kepada Allah,
niscaya Allah menerima permintaan maafnya.” HR. Abu Ya’la
Sehubungan
dengan itu, Rasululullah saw. bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ
نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.
“Orang kuat, bukanlah yang berani bertindak pada manusia
hinga bikin orang lain takut, tapi yang kuat adalah yang mampu mengendalikian
dirinya tatkala marah.” HR. Al-Bukhari dan Muslim.
Ciri
Ketiga
Selain mampu
menahan amarah, orang yang mendapat magfirah mampu pula memaafkan orang yang
telah berbuat salah terhadap dirinya. Ciri demikian itu dinyatakan oleh Allah
Swt. dengan firman-Nya:
وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ
“dan mema`afkan (kesalahan) orang.”
(QS. Ali Imran: 134)
Ciri ini perlu
“dilibatkan” karena orang yang mampu menahan amarah belum tentu bebas dari rasa
sakit hati, bahkan dendam. Memberi maaf pada manusia yang bersalah tatkala
marah merupakan sikap yang paling berat. Oleh karena itu, mukmin yang mampu
melakukannya mendapat pujian dari Allah sebagai manusia yang memiliki
derajat tinggi. Allah Swt. berfirman:
وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا
غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ.
“dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.”
QS. Asy-Syura:37
Sehubungan
dengan sifat ini, Ibnu Katsir menyatakan, “Yaitu selain menahan diri, tidak
melampiaskan kemarahannya, mereka juga memaafkan orang yang telah berbuat
aniaya terhadap dirinya, sehingga tiada suatu uneg-uneg pun yang ada dalam hati
mereka terhadap seseorang. Hal ini merupakan akhlak yang paling sempurna.”[ Tafsir Ibnu Katsir, II:73]
Ciri
Keempat
Orang yang
mendapat magfirah akan senantiasa berbuat baik (ihsan), baik yang berkaitan
dengan kewajiban pada Allah maupun yang berkaitan dengan sesama manusia. Ciri
demikian itu dinyatakan oleh Allah Swt. dengan firman-Nya:
وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ.
“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS.
Ali Imran: 134)
Petunjuk ihsan
ditegaskan pula oleh Nabi melalui sabdanya:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ
فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ
أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ.
“Sesungguhnya Allah Swt. telah mewajibkan berlaku ihsan
(baik) dalam segala hal. Jika kamu membunuh sesuatu, maka hendaklah berlaku
baik ketika membunuhnya. Jika kamu menyembelih, hendaklah belaku baik ketika
menyembelihnya. Tajamkanlah mata pisaumu, agar tidak terlalu menyakitkan yang
disembelih.” HR. Muslim.
Kalimat: “Sesungguhnya
Allah Swt. telah mewajibkan berlaku ihsan (إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ
الْإِحْسَانَ) mengisyaratkan bahwa kita diperintah
Allah Swt. untuk ihsan. Sedangkan perkataan: “dalam segala hal (عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ)” mengandung makna bahwa ihsan itu mesti diterapkan dalam
segala aspek kehidupan dan diberlakukan kepada siapa pun, baik kepada Allah
Swt. maupun kepada sesama makhluq-Nya.
Ihsan kepada
Allah Swt. telah disabdakan Rasulullah saw. ketika mendapat pertanyaan dari
Malaikat Jibril:
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ
فَإِنَّهُ يَرَاكَ.
“(Ihsan ialah) engkau menyembah Allah seolah-olah engkau
melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
HR.Muslim
Sedangkan Ihsan
kepada sesama manusia diperintahkan langsung dalam berbagai ayat al-Qur`an
antara lain:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي
الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ
وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا
فَخُورًا.
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun. Dan berbuat Ihsan (berlaku baiklah) kepada ibu-bapa,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”
QS. An-Nisa:36
Hubungan
kalimat ini: “Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” dengan sifat
menahan marah dan memaafkan kesalahan orang lain, dijelaskan oleh Imam Ibnu
Katsir, “Hal yang disebut di atas merupakan salah satu dari beberapa kemuliaan
kebajikan (maqaamaat al-ihsaan). Sebagaimana dinyatakan dalam sabda Nabi
saw. berikut ini:
ثَلَاثٌ أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ: مَا نَقَصَ مَالٌ مِنْ صَدَقَةٍ، وَمَا
زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا، وَمَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ
اللَّهُ.
“Ada tiga perkara yang aku berani bersumpah untuknya;
tiada harta yang berkurang karena sedekah, dan tidak sekali-kali Allah
menambahkan kepada seorang hamba yang pemaaf melainkan keagungan; serta
barangsiapa merendahkan dirinya karena Allah, niscaya Allah mengangkat
(kedudukan)nya.” HR. Muslim, tanpa kalimat:
“Aku bersumpah.”
Dalam hadis
lain, Nabi saw. bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُشْرَفَ لَهُ الْبُنْيَانُ، وَتُرْفَعَ لَهُ
الدَّرَجَاتُ فَلْيَعْفُ عَمَّنْ ظَلَمَهُ، وَيُعْطِ مَنْ حَرَمَهُ، ويَصِلْ مَنْ
قَطَعَهُ.
“Barangsiapa menginginkan bangunan untuknya (di
surga); dimuliakan dan derajat nya ditinggikan, hendaklah ia memaafkan orang
yang berbuat aniaya kepadanya, memberi kepada orang yang kikir terhadap
dirinya, dan bersilaturahmi kepada orang yang memutuskannya.” HR.
Al-Hakim.[Tafsir Ibnu Katsir, II:73]
Ciri
Kelima
Orang yang
mendapat magfirah akan segera bertobat dan istigfar (memohon ampun kepada
Allah) manakala melakukan suatu dosa. Ciri demikian itu dinyatakan oleh Allah
Swt. dengan firman-Nya:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا
اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu
memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.” (QS. Ali
Imran: 135)
Sehubungan
dengan sifat ini, Ibnu Katsir menyatakan, “Yakni apabila mereka melakukan
suatu dosa, maka mereka mengiringinya dengan tobat dan istigfar (memohon ampun
kepada Allah).”[Tafsir Ibnu Katsir, II:73]
Sehubungan
dengan sikap bersegera untuk tobat dan istigfar, Nabi saw. bersabda:
إِنَّ رَجُلًا أَذْنَبَ ذَنْبًا، فَقَالَ: رَبِّ إِنِّي
أَذْنَبْتُ ذَنْبًا فَاغْفِرْهُ. فَقَالَ اللَّهُ [عَزَّ وَجَلَّ] عَبْدِي عَمِلَ
ذَنْبًا، فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ، قَدْ
غَفَرْتُ لِعَبْدِي، ثُمَّ عَمِلَ ذَنْبًا آخَرَ فقال: رَبِّ إِنِّي عَمِلْتُ
ذَنْبًا فَاغْفِرْهُ. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: عَلِمَ عَبْدِي أَنَّ لَهُ
رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ، قَدْ غَفَرَتْ لِعَبْدِي. ثُمَّ
عَمِلَ ذَنْبًا آخَرَ فَقَالَ: رَبِّ، إنِّي عَمِلْتُ ذَنْبًا فَاغْفِرْهُ لِي.
فَقَالَ عَزَّ وجَلَّ: عَلِمَ عَبْدَي أنَّ لَهُ رَبا يَغْفِرُ الذَّنْبَ
وَيأْخُذُ بِهِ، قَدْ غَفَرَتُ لِعَبْدِي ثُمَّ عَمِلَ ذَنَبًا آخَرَ فَقَالَ:
رَبِّ، إنِّي عَمِلَتُ ذَنَبًا فَاغْفِرْهُ فَقَالَ عَزَّ وجَلَّ: عَبْدِي عَلِمَ
أنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ، أُشْهِدُكُمْ أنِّي قَدْ
غَفَرْتُ لِعَبْدِي، فَلْيَعْمَلْ مَا شَاءَ.
“Sesungguhnya ada seorang lelaki melakukan suatu dosa,
lalu ia berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah melakukan suatu dosa, maka
berikanlah ampunan bagiku atas dosa itu.’ Maka Allah Swt. berfirman, ‘Hamba-Ku
telah melakukan suatu dosa, lalu ia mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang
mengampuni dosa dan yang menghukumnya, sekarang Aku memberikan ampunan kepada
hamba-Ku.’ Kemudian si hamba melakukan dosa yang lain, dan mengatakan, ‘Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku telah melakukan dosa lain, maka ampunilah dosa(ku)
itu.’ Allah Swt. berfirman, ‘Hamba-Ku mengetahui bahwa dirinya mempunyai Tuhan
yang mengampuni dosa dan yang menghukumnya. Sekarang Aku mengampuni hamba-Ku.’
Kemudian si hamba melakukan dosa lagi dan berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya
aku telah melakukan suatu dosa, maka ampunilah dosaku.’ Allah Swt. berfirman,
‘Hamba-Ku mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa dan yang
menghukumnya, sekarang Aku memberikan ampunan kepada hamba-Ku.’ Kemudian si
hamba melakukan dosa yang lain, dan mengatakan, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku
telah melakukan dosa lain, maka ampunilah dosa(ku) itu.’ Allah Swt. berfirman,
‘Hamba-Ku mengetahui bahwa dirinya mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa dan
yang menghukumnya. Persaksikanlah oleh kalian (para malaikat) bahwa Aku telah
mengampuni hamba-Ku, maka ia boleh berbuat semua apa yang dikehendakinya.”
HR. Ahmad
Ciri-ciri orang
bertobat disebutkan dalam firman Allah selanjutnya:
وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ.
“Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu,
sedangkan mereka mengetahui.” (Ali Imran: 135)
Kata Ibnu
Katsir, “Yakni mereka bertobat kepada Allah dari perbuatan dosa mereka dalam
waktu yang dekat, dan tidak melanjutkan perbuatan maksiat, tidak menetapinya,
tidak pula menjadikannya sebagai langganan. Seandainya mereka mengulangi
perbuatan dosanya, maka dengan segera mereka bertobat dari perbuatannya itu
kepada Allah.”
Berbagai ciri
pribadi muslim yang dapat maghfirah di atas ditegaskan oleh Allah di penghujung
ayat, dengan firman-Nya:
أُولئِكَ
جَزاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ.
“Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka.”
(QS. Ali Imran: 136)
Kata Imam Ibnu
Katsir, “Yaitu balasan mereka karena menyandang sifat-sifat tersebut ialah
ampunan dari Tuhan mereka.”
Pribadi muslim
yang mampu memelihara ciri-ciri di atas akan mendapat jaminan hidup kekal di
surga, sebagaimana dinyatakan Allah, sesudah menggambarkan perihal mereka yang
telah disebutkan sifat-sifatnya di atas, dengan firman-Nya:
وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ.
“dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai.” (QS.
Ali Imran: 136)
Kata Imam Ibnu
Katsir, “Yakni berbagai macam minuman.”
خالِدِينَ فِيها.
“sedangkan mereka kekal di dalamnya.”
(QS. Ali Imran: 136)
Kata Imam Ibnu
Katsir, “Maksudnya, menetap di dalam surga untuk selama-lamanya.”
وَنِعْمَ أَجْرُ الْعامِلِينَ.
“dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yana beramal.”
(QS. Ali Imran: 136)
Kata Imam Ibnu
Katsir, Allah Swt memuji keindahan surga dan semua kenikmatan yang
ada di dalamnya.” [Tafsir Ibnu Katsir, II:73]
Demikianlah
ciri-ciri yang dapat ditelusuri pada diri kita masing-masing untuk menunjukkan
kita sebagai pemenang atau pihak yang kalah pada “pertandingan” selama bulan
Ramadhan. Wallahu A’lam.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan