Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum lagu dan musik
menurut Islam. Sebagian di antara mereka mengharamkan, sedangkan sebagian yang
lain menghalalkannya. Perbedaan di antara mereka bermuara pada perbedaan
penafsiran dalil-dalil yang mendasari masing-masing pendapat.
Tulisan ini akan menyajikan dalil-dalil & argumentasi
dari kedua belah pihak, untuk selanjutnya dianalisa dan dipilih yang arjah
(lebih kuat).
KELOMPOK PERTAMA: Nyanyian & Musik Haram.
Di antara ulama mutaqaddimin (klasik) yang mengharamkan
nyanyian & musik adalah Abu Yusuf. Sedangkan di antara ulama zaman ini
adalah Syekh Abdurrahman As Sa’di, Syekh Al Albani, Syekh bin Baz, Syekh
al-Utsaimin, Syekh Al Fauzan, Syekh Muqbil bin Hadi.
Dalil-dalil & Argumentasi:
Lagu termasuk perkataan yang tidak berguna. Allah swt.
berfirman:
وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ
الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَها هُزُواً
أُولئِكَ لَهُمْ عَذابٌ مُهِينٌ
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh adzab yang menghinakan.” Q.s. Luqman: 6
Ibnu Mas’ud dalam menafsirkan ayat ini berkata, “Demi Allah
yang tiada tuhan selain-Nya, yang dimaksudkan adalah lagu.”
Kata Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, “Penafsiran
seorang sahabat merupakan hujjah dan penafsirannya berada di tingkat ketiga
dalam tafsir, karena pada dasarnya tafsir itu ada tiga. Penafsiran Al-Qur’an dengan
ayat Al-Qur’an, Penafsiran Al-Qur’an dengan hadis dan ketiga Penafsiran
Al-Qur’an dengan penjelasan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa
penafsiran sahabat mempunyai hukum rafa’ (dinisbatkan kepada Nabi saw.). Namun
yang benar adalah bahwa penafsiran sahabat tidak mempunyai hukum rafa’, tetapi
memang merupakan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.”
Mendengarkan musik dan lagu akan menjerumuskan kepada suatu
yang diperingatkan oleh Rasulullah saw. dalam hadisnya. Dalam Shahih Al Bukhari
disebutkan hadis Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari, dia mendengar Nabi saw.
bersabda:
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ
يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Akan ada dari umatku kaum yang menghalalkan zina dan
sutera, khamr dan alat musik.”
Kata Syekh al-Albani, “Dalam hadis tersebut alat-alat musik
dikaitkan dengan khamr dari sisi keharamannya. Karena khamr mengotori jasad dan
akal pikiran dan nyanyian mengotori ruh (jiwa) sehingga mabuklah seseorang
karenanya. Apabila telah tergabung dalam diri seseorang kotoran jasad, akal
pikiran, dan jiwa maka tercipta sebuah kejahatan yang besar yang menakutkan.”
Kata Syekh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin, “Maksudnya,
menghalalkan zina, khamr, sutera padahal ia adalah lelaki yang tidak boleh
menggunakan sutera, dan menghalalkan alat-alat musik. [Hadis riwayat al-Bukhari
dari hadis Abu Malik Al-Asy’ari atau Abu Amir Al-Asy’ari]” [Disalin dari
Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah]
Menjelaskan hadis tersebut, Ibnul Qayyim berkata, “Dari
sisi pendalilan dari hadis ini bahwa alat musik ini adalah alat-alat yang
melalaikan semuanya, tidak ada perselisihan di antara ahli bahasa tentang hal
itu. Andaikata nyanyian itu halal maka Rasulullah saw. tidak akan mencela orang
yang menghalalkannya dan tidak pula menyamakannya dengan orang yang
menghalalkan khamr.
Al Harru mempunyai makna penghalalan kemaluan yang
sebenarnya diharamkan. Sedangkan al khazzu adalah sejenis sutera yang tidak
dipakai oleh para shahabat (karena al khazzu ada dua macam, yang terbuat dari
sutera dan dari bulu domba). Hadis ini telah diriwayatkan dengan dua bentuk.”
(Lihat, Ighaatsatul Lahfan I:291)
Allah swt. berfirman:
وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا
مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu dan
apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka lalui (saja) dengan menjaga
kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqan: 72)
Kata Syekh al-Albani, “Sebagaimana yang ditafsirkan oleh
Muhammad bin Al Hanafiyah, Mujahid, dan Ibnul Qayyim rahimahullah, makna
az-zuur dalam ayat ini adalah nyanyian.”
Allah Swt. berfirman:
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ
وَتَضْحَكُونَ وَلا تَبْكُونَ وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ
“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini dan
kamu mentertawakan dan tidak menangis sedang kamu melengahkan(nya).” (QS. An
Najm: 59-61)
Kata Syekh al-Albani, “Ibnu Abbas menjelaskan bahwa as
samuud adalah nyanyian, dari bahasa Himyar (nama satu kabilah di Arab).
Dikatakan samada lanaa, berarti menyanyi untuk kami. Dalam Ash Shihhah
disebutkan bahwa as samuud adalah al lahwu (nyanyian) dan as samiid adalah al
lahiy (orang yang bernyanyi). Dikatakan pada Luqainah asmidiina berarti
lalaikanlah kami dengan nyanyian. Ibnul Jauzi menyebutkan arti as samuud itu
ada 5, yaitu al lahwu (lalai), al i’raadh (berpaling), al ghinaa’ (nyanyian),
al ghiflah (lupa), dan al asyir wal bathr (sombong). (Lihat, Zaadul Muyassar,
VIII:86). Aku berkata, “siapa yang mencermati masalah ini maka ia akan
mendapatkannya dalam nyanyian karena bisa memalingkan kita dari Allah serta
menimbulkan kelalaian, kesombongan, dan takabur.”
Berdasarkan keterangan di atas jelas bahwa Alquran
mengharamkan musik sehingga yang melakukannya akan mendapat azab yang
menghinakan.
Kelompok ini memperkuat argumentasi mereka dengan
mengemukakan hadis-hadis Nabi yang menunjukkan pengharaman secara jelas
(sharih) terhadap berbagai macam alat hiburan dan musik. (lihat, analisa pada
akhir pembahasan).
KELOMPOK KEDUA: Nyanyian & Musik Mubah.
Di antara ulama mutaqaddimin yang menghalalkan nyanyian
adalah Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu’bah,
Usamah bin Zaid, Imran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi
Ribah, Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali, dan Ibnu Hazm.
Sedangkan di antara ulama zaman ini adalah Syekh Muhamad al-Ghazali & Syekh
Yusuf al-Qardhawi.
Meskipun demikian mereka menetapkan bahwa kehalalan itu
akan berubah menjadi haram li amrin kharij (faktor lain), antara lain:
1. Jika berisi
syair-syair kotor, jorok dan cabul.
2. Jika
disertai kemungkaran, seperti sambil minum khomr, berjudi, dan lainnya.
3. Jika
menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita atau
sebaliknya.
4. Jika
menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat atau
menunda-nundanya.
Dalil-dalil & Argumentasi:
Pertama, Tafsir Surat Luqman:6
Kata Lahwa al-Hadits tidak dapat diartikan dengan nyanyian.
Seandainya kata tersebut memang diartikan “nyanyian”, maka yang dikecam oleh
Allah taala melalui ayat tersebut adalah kata-kata dimaksud digunakan sebagai
alat untuk menyesatkan manusia. Jadi, bukan terletak pada nyanyian atau bukan
nyanyian.
Ibnu Hazm mengatakan, “Apabila Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud
menafsirkan kata lahwa al-hadits dengan makna nyanyian, maka sesungguhnya teks
ayat itu sendiri-dalam hal ini li yudilla ‘an sabilillah (untuk menyesatkan
dari jalan Allah) telah menentang penafsiran tersebut.”
Sebab, kata Ibnu Hazm, lahwa al-hadits yang dimaksud dalam
ayat tersebut adalah lahwa al-hadits yang jika dilakukan akan mengakibatkan
kekafiran bagi pelakunya. Misalnya, seorang membeli mushaf dengan tujuan untuk
menyesatkan orang lain dan memperolok-olok serta mempermainkannya, maka tentu
yang bersangkutan akan tergolong orang-orang yang kafir dan Lahwa Al-Hadits
semacam inilah yang dikecam oleh ayat tersebut. Adapun Lahwa Al-Hadits yang
tidak bermaksud menyesatkan orang lain dan memperolok-olok, tetapi untuk
menghibur diri tentu tidak dikecam oleh ayat tersebut. Artinya, ayat itu tidak
ditujukan kepada orang-orang yang menghibur diri tanpa bermaksud menyesatkan
manusia lainnya dari ajaran Allah taala. Adapun orang yang tidak melalaikan
kewajiban agamanya sekalipun dia sibuk menyanyi, orang dimaksud tetap sebagai
orang yang baik (muhsin).
Ibnu Hazm telah membantah mereka yang menggunakan surat
Luqman ayat 6 ini sebagai dasar pengharaman musik. Beliau berkata, “Nash ayat
tersebut membatalkan argumentasi-argumentasi mereka sendiri, karena dalam ayat
tersebut “Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang
tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu olok-olokan” Ini menunjukkan bahwa yang melakukannya
adalah orang kafir, tanpa ikhtilaf jika menjadikan jalan Allah sebagai
olok-olokan. Inilah yang dicela oleh Allah. Sedangkan orang yang menggunakan
perkataan yang sia-sia untuk tujuan hiburan atau menenangkan dirinya bukan
untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tidaklah dicela. Maka terbantahlah
pendapat mereka dengan perkataan mereka sendiri. Bahkan jika seseorang
melalaikan shalat dengan sengaja dikarenakan bacaan Al Quran atau membaca hadis
atau dengan obrolan dan lagu sama saja termasuk kefasikan dan dosa kepada
Allah. Tetapi siapa yang tidak melalaikan kewajiban sebagaimana yang kami
sebutkan maka tetap merupakan kebaikan.” (Lihat, Al Muhalla, IX:10)
Dilihat dari konteks turunnya, surat Luqman:6 sebenarnya
ditujukan buat orang-orang kafir. Ini dapat dilihat dari kelanjutan ayat
tersebut Luqman:7. Pada Luqman:6 disebutkan: “Dan diantara manusia ada orang
yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari
jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.
Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” QS Luqman:6. Selanjutnya
pada Luqman: 7 disebutkan: “Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia
berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia tidak mendengarnya.
Seakan-akan ada penghalang di kedua telinganya, maka berikan kabar gembira
padanya dengan azab yang pedih.”
Jelas sekali bahwa yang berpaling dengan menyombongkan diri
ketika dibacakan ayat-ayat Allah adalah orang kafir.
Ibnu Jarir At Thabary menegaskan dari riwayat Ibnu Wahab,
ia berkata, “Ibnu Zaid mengatakan bahwa (Luqman: 6) ‘Dan di antara manusia ada
orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna’ maksudnya adalah
orang-orang kafir. (Lihat, Tafsir Ath Thabary, I:41, tafsir surah Luqman)
Pendapat ini juga dikemukakan Ibnu Athiyyah yang mengatakan
bahwa yang rajih atau lebih kuat adalah ayat yang diturunkan tentang lahwul
hadits ini untuk orang-orang kafir, karenanya ungkapan tersebut sangat keras
yaitu “untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa pengetahuan dengan
menggunakannya sebagai olok-olokan” dan disertai dengan ancaman siksaan yang
sangat hina. (Lihat, Tafsir Ibnu Athiyyah, XI: 484)
Kesimpulan surat Luqman ayat 6 adalah lebih tepat ditujukan
untuk orang-orang kafir yang ingin menyesatkan manusia dari jalan Allah dengan
perkataan yang tidak berguna. Jadi Ayat ini tidak benar dijadikan dasar
pengharaman musik dan lagu.
Kedua, Tafsir Surat An-Najm, ayat 59-61
Kata Saamidun diartikan sebagai “dalam keadaan
menyanyi-nyanyi”, tidak disepakati oleh ulama tafsir, karena kata tersebut
sekalipun digunakan oleh suku Humyar (suku bangsa Arab) dalam arti menyanyi,
tetapi di dalam kamus-kamus bahasa Arab seperti Mu’jam Al-Maqayis Fi Al-Lugah
dijelaskan bahwa akar kata Saamidun adalah samada yang maknanya berkisar pada
“berjalan bersungguh-sungguh tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan”, atau secara
majaz (kiasan) dapat diartikan “serius” atau “tidak mengindahkan selain apa
yang dihadapinya.” Dengan demikian, kata saamidun, sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Katsir, dalam ayat tersebut dapat diartikan “orang yang lengah”
(Ghafilun).
Adapun hadis Abu Amir atau Abu Malik Al-Asyjari, yang
artinya, “Sesungguhnya akan terdapat dalam umatku orang-orang yang menghalalkan
zina, sutera, khamar, judi, dan musik; semua yang memabukkan hukumnya haram.”
HR Al-Bukhari
Matan (teks hadis) tersebut menjelaskan bahwa azab
diturunkan karena mereka menghalalkan zina, minuman keras, menghalalkan sutera
dan membolehkan tampilnya biduanita di depan forum yang bercampur laki-laki dan
perempuan serta menghalalkan penggunaan alat musik di luar batas-batas yang dibenarkan
agama. Jadi bukan semata-mata nyanyian yang mengakibatkan turunnya azab
tersebut.
Berkata Al-Fakihani, “Aku tidak ketahui dalam kitab Allah
dan tidak pula dalam Sunnah satu hadis sahih yang jelas dalam pengharaman alat
hiburan. Sesungguhnya semuanya hanya bersifat umum dan bukan dalil Qat`iy.”
Dr Wahbah Az-Zuhaili berpendapat, “Sesungguhnya lagu-lagu
patriotik atau yang mendorong pada kebaikan atau jihad (perjuangan), tiada
halangan (haram) baginya dengan syarat tiada percampuran bebas dan menutup aurat
wanita kecuali muka dan telapak tangan. Adapun lagu-lagu yang mendorong pada
kejahatan, tidak syak akan pengharamannya, hatta di kalangan mereka yang
mengharuskan nyanyian, khususnya kemunkaran di radio dan TV yang banyak
terdapat di zaman kita hari ini.”
Kelompok ini memperkuat argumentasi mereka dengan
mengemukakan hadis-hadis Nabi yang menunjukkan kebolehan secara jelas (sharih)
terhadap lagu & musik, antara lain:
Hadis Pertama:
Diriwayatkan oleh Buraidah:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي
بَعْضِ مَغَازِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ فَقَالَتْ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ
أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلَّا فَلَا فَجَعَلَتْ
تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ
تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتْ
الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ إِنِّي كُنْتُ
جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ
عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ فَلَمَّا دَخَلْتَ
أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتْ الدُّفَّ
Rasulullah saw. hendak menuju perperangan, ketika kembali
dari perperangan seorang Jariyyah hitam datang menghampiri Rasulullah saw.
seraya berkata “Wahai Rasulullah saw. sesungguhnya aku telah bernadzar apabila Engkau
kembali dengan selamat aku akan menabuh Duff dan bernyanyi di hadapanmu,
Rasulullah SAW bersabda “Apabila kau telah bernadzar maka tabuhlah sekarang
karena apabila tidak maka engkau telah melanggar nadzarmu”. Kemudian Jariyyah
tersebut menabuh Duff (dan bernyanyi), kemudian Abu Bakar ra masuk ke rumah
Rasulullah saw. dan Jariyyah itu masih menabuh Duff dan bernyanyi, kemudian
ketika Ali ra masuk dia masih menabuhnya dan ketika Utsman ra masuk dia juga
tetap menabuh, ketika Umar ra masuk ia langsung melemparkan/menyembunyikan Duff
itu di bawah bokongnya, kemudian Jariyyah itu duduk. Lalu Rasulullah saw.
bersabda “Wahai Umar sungguh setan pasti akan takut kepadamu, sungguh ketika
Aku duduk dia menabuh Duff, ketika Abu Bakar masuk dia juga masih demikian,
Ketika Ali masuk juga demikian, ketika Utsman masuk dia juga tetap menabuhnya,
akan tetapi ketika engkau masuk wahai Umar ia lemparkan/sembunyikan Duff itu”.
(H.r. At-Tirmidzi, No. 3690. At-Tirmidzi mengatakan hadis ini hasan shahih
gharib, hadis ini juga dinyatakan shahih oleh Syekh Al Albani dalam Shahih
Sunan Tirmidzi. Juga diriwayatkan dalam Musnad Ahmad bab Buraidah no 22989
dengan sanad yang kuat, dan diriwayatkan dalam Shahih Ibnu Hibban hadis no
6892).
Hadis ini adalah bukti kuat dibolehkannya menabuh Duff (sejenis alat musik tabuh) dan bernyanyi. Tidak boleh bernadzar dalam hal yang diharamkan atau dalam bermaksiat kepada Allah, hal ini sudah sangat jelas. Izin Rasulullah saw. melalui kata-kata tunaikanlah nadzarmu menjadi bukti kuat kebolehan menabuh duff dan bernyanyi.
Sedangkan sikap Umar ra itu adalah kecenderungannya yang
tidak suka mendengarkan duff dan nyanyian. Adalah aneh sekali jika menganggap
sikap Umar ra sebagai menunjukkan haramnya menabuh musik dan bernyanyi karena
kalau memang haram tidak mungkin dari awal Rasulullah SAW membiarkannya
termasuk Abu Bakar ra, Ali ra dan Usman ra. adalah lucu sekali berpendapat Umar
ra tahu itu haram sedangkan Rasulullah SAW tidak, yang seperti ini jelas tidak
benar. Oleh karena itu sikap Umar ra tidak lain adalah kecenderungan
pribadinya.
Hadis Kedua:
عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ قَالَتْ
دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم غَدَاةَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ
عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي وَجُوَيْرِيَاتٌ يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ
يَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِهِنَّ يَوْمَ بَدْرٍ حَتَّى قَالَتْ جَارِيَةٌ
وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم
لَا تَقُولِي هَكَذَا وَقُولِي مَا كُنْتِ تَقُولِينَ
Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz, ia berkata “Rasulullah saw.
datang, pagi-pagi ketika pernikahan saya. Kemudian Beliau duduk di kursiku
seperti halnya kau duduk sekarang ini di depanku, kemudian aku menyuruh para
Jariyah memainkan Duff, dengan menyanyikan lagu-lagu balada orang tua kami yang
syahid pada perang Badr, mereka terus bernyanyi dengan syair yang mereka
kuasai, sampai salah seorang dari mereka mengucapkan syair yang berbunyi…
“Diantara kita telah hadir seorang Nabi yang mengetahui hari depan” …Maka Nabi
saw. bersabda “Adapun syair ini janganlah kamu nyanyikan”. (H.r. Al-Bukhari,
Shahih Bukhari Kitab Nikah Bab Dharbal Duff Al Nikah Wa Al Walimah no 5147,
juga diriwayatkan Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hibban no 5878).
Hadis ini juga mengisyaratkan bolehnya memainkan Duff dan
bernyanyi, hal ini berdasarkan taqrir atau diamnya Nabi saat Jariyyah tersebut
memainkan duff dan bernyanyi. ِAl-Bukhari telah meriwayatkan hadis ini dalam
Bab Dharbal Duff Al Nikah Wa Al Walimah (Memukul Tambur Selama Pernikahan).
Perkataan Nabi saw. “Adapun syair ini janganlah kamu nyanyikan” merujuk kepada
syair yang berbunyi..”Diantara kita telah hadir seorang Nabi yang mengetahui
hari depan”, Nabi melarang kata-kata dalam syair ini karena hanya Allah swt.
semata yang mengetahui hari depan.
Hadis Ketiga:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
قَالَتْ دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ
تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا
بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ
رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا
عِيدُنَا
Dari Aisyah ra, ia berkata, “Suatu hari Abu Bakar ra masuk
ke rumah Rasul saw. disana ada dua jariyah Anshar yang sedang bernyanyi dengan
“Nyanyian Anshar”, Kata Aisyah, “(mereka sudah biasa bernyanyi, namun) keduanya
bukan biduanita” Abu Bakar (melarang keduanya) berkata, “Apakah (dibiarkan)
seruling setan di rumah Rasul” peristiwa itu pada hari Ied. Rasulullah saw.
bersabda, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya tiap kaum punya hari ied, dan ini
adalah hari ied kita. Dalam riwayat lain: Wahai Abu Bakar, biarkanlah mereka
bernyanyi karena hari ini adalah hari Id (hari raya)”. (H.r. Al-Bukhari &
Muslim, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim sebagaimana disampaikan Syekh Al
Albani, Ghayatul Maram Takhrij Al Halal Wal Haram Fil Islam hadis ke 399;
Al-Maktab Al-Islami Al Ula, hal. 227).
Hadis ini juga menjadi dasar bolehnya bernyanyi dan memainkan gendang atau rebana. Hal ini tampak jelas dari kata-kata Nabi saw. “Biarkanlah”. Tidak mungkin Nabi saw. membiarkan yang haram. Sedangkan anggapan sebagian orang bahwa yang dibolehkan hanya pada hari raya sedangkan selain hari raya itu dilarang adalah anggapan yang tidak benar. Pertama sudah jelas dalam dua hadis sebelumnya nyanyian dibolehkan ketika nadzar dan pernikahan, bukankah itu artinya selain hari raya? Kedua, dalam hari raya tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang haram. Bagaimana mungkin sesutu yang haram menjadi halal karena hari raya. Oleh karena itu tidak beralasan menyatakan nyanyian itu haram.
Hadis Keempat:
Diriwayatkan dari Aisyah ra yang berkata “Di kamarku ada
Jariyyah Anshar kemudian aku menikahkannya maka Rasulullah SAW masuk pada hari
pernikahannya itu Beliau SAW sama sekali tidak mendengar nyanyian ataupun lahwu
(permainan) kemudian Beliau SAW bersabda “Wahai Aisyah apakah engkau tidak
memberikan nyanyian untuknya?”. Kemudian Beliau SAW bersabda lagi “Bukankah di
kampung ini kampungnya orang Anshar yang mereka itu sangat menyukai nyanyian”
(H.r. Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hibban no 5875 semua perawinya tsiqat).
Dalam riwayat Ahmad, al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah
r.a. Katanya: “Aku pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki
dari kalangan Anshar. Maka Nabi s.a.w. bersabda:
يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ مِنْ لَهْو
فَإِنَّ الأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ
“Hai ‘Aisyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena
sesungguhnya orang-orang Anshar senang dengan hiburan (nyanyian).”
Dalam riwayat Ahmad terdapat kalimat:
لَوْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا مَنْ يُغَنِّيهِمْ
وَ يَقُولُ: أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ فَحَيُّونَا نُحَيِّيكُمْ فَإِنَّ
الأَنْصَارَ قَوْمٌ فِيهِمْ غَزَلٌ
“Bagaimana kalau diikuti pengantin itu oleh (orang-orang)
wanita untuk bernyanyi sambil berkata dengan senada: “Kami datang kepadamu.
Hormatilah kami dan kami pun menghormati kamu. Sebab kaum Anshar senang
menyanyikan (lagu) tentang wanita.”
Begitu pula dalam hadis ini yang berkesan adanya anjuran
nyanyian atau hiburan dalam pernikahan. Hal ini setidaknya membuktikan nyanyian
itu tidak haram karena Nabi saw. telah mengizinkannya dalam pernikahan.
Hadis Kelima:
عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ دَخَلْتُ
عَلَى قُرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ وَأَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ فِي عُرْسٍ وَإِذَا
جَوَارٍ يُغَنِّينَ فَقُلْتُ أَنْتُمَا صَاحِبَا رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم وَمِنْ أَهْلِ بَدْرٍ يُفْعَلُ هَذَا عِنْدَكُمْ فَقَالَ اجْلِسْ إِنْ شِئْتَ
فَاسْمَعْ مَعَنَا وَإِنْ شِئْتَ اذْهَبْ قَدْ رُخِّصَ لَنَا فِي اللَّهْوِ عِنْدَ
الْعُرْسِ
Dari Amir bin Saad, dia berkata, “Aku masuk ke rumah
Qardhah bin Ka’ab dan Abi Mas’ud pada pernikahan, ternyata diantara mereka ada
beberapa Jariyah yang sedang bernyanyi, kemudian aku bertanya “Kalian itu
sahabat Nabi saw. Dan di antara ahli Badar, mengapa hal ini dilakukan dihadapan
kalian?” Dia (salah seorang di antara keduanya) menjawab “Duduklah, jika engkau
suka dengarkanlah bersama kami, akan tetapi jika tidak pergilah sungguh kami
telah diberikan keringanan untuk bersuka ria selama walimah pernikahan.” (H.r.
An-Nasai, Sunan An Nasa’i Bab Al Lahwu Wa Al Ghina ’Inda Al ’Arus hadis No
3168, dinyatakan hasan oleh Syekh Al Albani dalam Shahih An Nasa’i).
Hadis ini juga menjadi dasar dibolehkannya nyanyian karena
para sahabat ra sendiri juga mendengarkan nyanyian. Ketika ditanya kenapa
mendengarkan nyanyian padahal mereka sahabat Rasulullah saw., maka mereka
menjawab bahwa Rasulullah saw. telah memberikan keringanan dalam hal ini atau
telah dibolehkan oleh Rasulullah saw. yaitu ketika walimah pernikahan.
Hadis Keenam:
Anas bin Malik berkata: “Sesungguhnya Nabi saw. melewati
beberapa tempat di Madinah. Tiba-tiba beliau berjumpa dengan beberapa jariah
yang sedang memukul rebana sambil menyanyikan: “Kami jariah bani Najjar.
Alangkah bahagianya bertetangga dengan Nabi.” Mendengar dendang mereka, Nabi
saw. bersabda:
اللهُ يَعْلَمُ إِنِّي لأُحِبُّكُمْ
“Allah mengetahui bahwa aku benar-benar sayang kepada
kalian.” H.r. An-Nasai.
Keenam hadis tersebut menunjukkan dibolehkannya nyanyian
dan menabuh alat musik seperti duff atau rebana. Jadi bagaimana mungkin alat
musik itu haram. Adalah tidak benar menyatakan kebolehan itu bersifat khusus
dan selain itu haram. Artinya hanya dibolehkan karena bernadzar, pernikahan dan
hari raya. Pendapat ini jelas rancu karena: “Apakah karena bernadzar,
pernikahan dan hari raya maka yang haram menjadi halal”. Ini jelas tidak benar,
justru hadis tersebut dipahami sebagai keumuman pembolehannya. Situasi-situasi
yang berlainan yaitu ketika menunaikan nadzar, ketika ada pernikahan dan ketika
hari raya jelas lebih menunjukkan keumuman dibolehkannya nyanyian.
Dibolehkannya sudah pasti tidak menunjukkan haram.
Imam Asy-Syaukani berkata: Ulama Madinah dan lainnya,
seperti ulama Zhahiri dan jama’ah ahlu Sufi memberikan kemudahan pada nyanyian
walaupun dengan gitar dan biola”. Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi
As-Syafi’i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja’far menganggap bahwa nyanyi
tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau
sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah
Amirul Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada
Qodhi Syuraikh, Said bin Al Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan
Asy-Sya’bi.
Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah, dan Ibnu Abi
Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin, bahwa Abdullah bin Zubair
memiliki budak-budak wanita dan gitar. Dan Ibnu Umar pernah ke rumahnya ternyata
disampingnya ada gitar, Ibnu Umar berkata: “Apa ini wahai sahabat Rasulullah
saw?” kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian
berkata:” Ini mizan Syami (alat musik) dari Syam?”. Berkata Ibnu Zubair:”
Dengan ini akal seseorang bisa seimbang”.
Dan diriwayatkan dari Ar-Rowayani dari Al-Qofaal bahwa
madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik.
Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik.
Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta’akhirin yang mengharamkan alat
musik karena mereka mengambil sikap waro’ (hati-hati). Mereka melihat kerusakan
yang timbul dimasanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in
menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari
Alquran maupun hadis yang jelas mengharamkannya, sehingga dikembalikan pada
hukum asalnya yaitu mubah.
PENDAPAT KAMI:
Setelah mengkaji berbagai dalil dan argumentasi yang
dikemukakan kedua belah pihak, kami cenderung kepada kelompok yang menyatakan
bahwa lagu & musik itu hukumnya mubah selama terbebas dari faktor-faktor
yang telah disebutkan di atas. Dengan pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, Surat luqman, ayat 6.
Hemat kami, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abas, dan Ibnu Umar, tidak
bermaksud membatasi kata-kata Lahwa al-Hadits itu hanya dengan nyanyian. Namun
nyanyian termasuk ke dalam Lahwa al-Hadits yang dikecam oleh Allah melalui ayat
tersebut jika digunakan sebagai alat untuk menyesatkan manusia. Karena mereka
pun paham bahwa yang menjadi illatut tahrim (sebab pengharaman) Lahwa al-Hadits
dalam ayat ini disebutkan pada kalimat selanjutnya:
1. li yudhilla
‘an sabilillah (untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah).
2. wa
yattakhidzaha huzuwan (menjadikan jalan Allah itu olok-olokan).
Jadi inti persoalan bukan terletak pada nyanyian atau bukan
nyanyian.
Sehubungan dengan ayat itu Imam al-Bukhari beristinbath:
بَاب كُلُّ لَهْوٍ بَاطِلٌ إِذَا شَغَلَهُ
عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ
Bab Setiap Lahw adalah bathil apabila telah menyibukkannya
dari ketaatan kepada Allah. Selanjutnya al-Bukhari membuat contoh perkataan
yang termasuk Lahwa al-Hadits bathil. Siapa yang mengucapkan kepada temannya:
Ta’al uqaamirka (kemarilah aku akan berjudi dengan temanmu). (Lihat, Shahih
al-Bukhari, Kitabul Isti’dzan, hal. 1334)
Kedua, Hadis Shahih Sanadnya Tetapi Matannya Tidak Jelas
Mengharamkan Musik.
1. Hadis
al-Bukhari.
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ
يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
Imam al-Bukhari menempatkan hadis ini dalam:
بَابُ مَا جَاءَ فِيْمَنْ يَسْتَحِلُّ
الْخَمْرَ وَيُسَمِّيْهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ
Bab keterangan tentang Orang Yang Menghalalkan Khamr dan
Menamainya Bukan dengan Namanya
Imam al-Bukhari tidak sedikitpun menyebutkan tentang
pengharaman musik dan lagu. Andaikata hadis ini hendak dihubungkan dengan
masalah musik & lagu, maka dilalah (petunjuk) yang paling tepat digunakan
adalah musik dan lagu haram jika diiringi dengan perbuatan maksiat (misalnya
tarian seronok) apalagi disertai dengan minuman khamr. Dilalah ini diperoleh
melalui perbandingan dengan riwayat al-Bukhari pula dari sahabat yang sama (Abi
Malik Al-Asy’ari).
لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي
الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا تَغْدُو عَلَيْهِمِ الْقِيَانُ وَ
تَرُوحُ عَلَيْهِمِ الْمَعَازِفُ
“Segolongan dari umatku akan minum khamr dan mereka
menamainya bukan dengan namanya, mereka akan didatangi oleh para penyanyi
wanita keliling beserta pemain musik dengan alat-alat instrumentalnya.” H.r.
al-Bukhari dalam at-Tarikhul Kabir, juga riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Abi
Syaibah (Lihat, Fathul Bari, X:55)
Dalam riwayat Abu Daud & Ibnu Majah disebutkan:
لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ
يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلى رُؤُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَ
الْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللهُ بِهِمُ الأَرْضَ وَ يَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ
وَ الْخَنَازِيرَ
“Sekelompok dari umatku akan minum khamr dan menyebutnya
dengan nama (baru) selain nama khamr. Para pemusik bersama penyanyi wanita akan
melakukan pertunjukan di hadapan mereka. Kemudian mereka akan dilenyapkan ke
dalam tanah dan dijadikan sebagian dari mereka dalam bentuk kera dan babi.”
Nash hadis tersebut di atas telah menjelaskan bentuk
permainan alat musik dan nyanyian yang dicela oleh syara’. Bila ia melanggar
ketentuan syara’ (memainkan musik dan bernyanyi dengan cara seperti di atas),
maka haram hukumnya karena disertai dengan hal-hal yang haram. Dalam hal ini
kita dilarang mendengarkannya atau berada di tempat-tempat pertunjukkan seperti
itu, misalnya klub malam, diskotik, dan sejenisnya. Itulah maksud sabda
Rasulullah saw. “Sekelompok dari umatku akan menghalalkan permainan alat-alat
musik dan penyanyi wanita (bersama mereka).”
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa maksud
hadis al-Bukhari itu ditujukan kepada sekelompok orang dari kaum muslimin yang
berani menghalalkan penggunaan alat-alat musik di luar batas-batas yang telah
digariskan syara’.
2. Hadis Abu
Daud & Ahmad.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍوأَنَّ
نَبِيَّ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
وَالْكُوبَةِ وَالْغُبَيْرَاءِ وَقَالَ كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ – أبو داود –
Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
“Sesungguhnya Allah mengharamkan khamr, judi, al-Kubah dan al-Ghubaira. Setiap
yang memabukkan adalah haram (H.r. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, No. 3685)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم قَالَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ الْخَمْرَ
وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَقَالَ كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ – رواه أحمد –
Dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah saw. Bersabda,
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian khamar, judi dan Al Kubah” Dan
beliau bersabda, “Setiap yang memabukkan adalah haram” (H.r. Ahmad, Musnad
Ahmad, VI:26, No. 2476)
Dari segi sanad, hadis pertama telah dikritik asy-Syaukani
dalam Nailul Authar, dia berkata “Al-Hafiz adz-Dzahabi tidak berkomentar
tentang hadis ini, dan dalam sanadnya terdapat Walid bin Abdah. Abu Hatim Ar
Razi berkata bahwa Walid majhul atau tidak diketahui identitasnya. Al Mundziri
berkata bahwa hadis ini mangandung ‘illat (kecacatan).”
Hadis kedua dari Ibnu Abbas telah dinyatakan shahih oleh
Syekh Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad hadis no 2476. Hadis riwayat Ibnu
Abbas ini juga dinyatakan shahih oleh Syekh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrijnya
terhadap Musnad Ahmad hadis no 2476.
Sedangkan dari segi matan, hadis ini tidak sharih (jelas
dan tegas) menunjukkan keharaman. Mereka yang mengharamkan musik dengan dalil
hadis ini selalu mengartikan al-Kubah dengan alat musik perkusi atau tabuh dan
al-Ghubaira dengan alat musik petik.
Padahal terjadi perbedaan di kalangan ulama dalam
penafsiran kata al-Kubah dan al-Ghubaira. Ali bin Budzaimah mengatakan bahwa
al-Kubah diartikan sebagai tambur, sedangkan dalam kitab Gharib al-Hadis Ibnu
Arabi, al-Khatib dan Abu Ubaid mengatakan al-Kubah adalah permainan dadu.
Perbedaan pendapat juga terjadi di kalangan ulama dalam menafsirkan al-
Ghubaira, sebagian ada yang mengatakan alat musik sedangkan sebagian yang lain
mengatakan al-Ghubaira adalah khamr yang terbuat dari jagung atau gandum. Demikian
pendapat Ibnul Atsir dalam kitab An-Nihayah fi Gharibil Hadis.
Menurut kami al-Kubah lebih tepat diartikan sebagai
permainan dadu dan al-Ghubaira sebagai minuman khamr dari jagung dan gandum.
Hal ini karena
v Penafsiran seperti ini lebih sesuai
dengan teks hadis yang mengharamkan khamr dan judi. Al-Ghubaira berkaitan
dengan khamr dan al-Kubah berkaitan dengan judi.
v Penafsiran al-Kubah sebagai alat musik
tabuh jelas akan menimbulkan pertentangan hukum, karena pada hadis shahih
diterangkan bahwa Rasulullah saw. membolehkan menabuh duff (sejenis alat musik
tabuh atau perkusi) dan rebana.
Oleh karena itu menjadikan hadis-hadis ini sebagai dasar
pengharaman musik dan lagu adalah kurang tepat.
3. Hadis Ibnu
Umar.
Diriwayatkan dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara
seruling pengembara maka beliau memasukkan jarinya ke telinganya, kemudian
beliau menyimpangkan kudanya dari jalanan, ia mengatakan “Hai Nafi apakah kamu
mendengar?”. Aku menjawab: ya, maka ia berlalu sampai aku mengatakannya tidak.
Maka beliau mengangkat tangannya dan kembali menunggang ke jalanan kemudian
beliau berkata “Aku pernah melihat Rasulullah saw. mendengar suara seruling
pengembara maka beliau berbuat seperti ini.” (Hadis Sunan Abu Daud Bab Adab
hadis no 4924).
Tentang hadis ini Abu Daud berkata “hadis ini munkar”. Al
Hafidz Al Munziri dalam kitabnya Mukhtasar Lis Sunan jilid 7 hadis no 4755
tidak mengingkari atas kemunkarannya. Hal ini ditanggapi oleh Abu Thayyib
Muhammad Syamsyulhaq Adzim Abadi dalam Kitabnya Aun Al Ma’bud Syarh Sunan Abu
Daud dengan mengatakan: “tidak mengetahui sisi keingkarannya tetapi sanadnya
kuat dan tidak bertentangan dengan periwayatan yang tsiqah”. Hadis ini juga
dinyatakan shahih oleh Abu Sulaiman Al Khattabi dan Ibnu Hibban (dalam Shahih
Ibnu Hibban).
Walaupun hadis ini shahih juga tidak tepat dijadikan dasar
untuk mengharamkan musik karena matan hadis tidak jelas menyatakan haramnya
suara seruling itu. Pada awalnya Ibnu Umar mendengar suara seruling kemudian
dia menutup telinganya seraya berkata kepada Nafi apakah ia mendengarnya, Nafi
memang mendengarnya dan terus mendengarnya sampai suara seruling itu tidak
terdengar lagi. Ketika Ibnu Umar memastikan kepada Nafi apakah suara seruling
itu tidak terdengar lagi, barulah ia menurunkan tangannya. Ibnu Umar berkata
bahwa Rasulullah saw. berbuat seperti ini. Tindakan seperti itu hanya
menunjukkan ketidaksukaan Rasulullah saw. kepada suara seruling tersebut dan
bukan menunjukkan keharamannya.
Seandainya mendengar suara seruling itu haram maka Ibnu
Umar pasti akan menyuruh Nafi untuk menutup telinganya juga, serta mencari
siapa yang memainkan seruling itu (tidak hanya diam menunggu sampai suara
seruling itu tidak terdengar) untuk memperingatkan bahwa yang dilakukannya
adalah haram. Hal ini juga menyiratkan bahwa Rasulullah saw. ketika bersama
Ibnu Umar ra juga tidak menyuruh Ibnu Umar untuk menutup telinganya ketika
mendengar suara seruling pengembara. Apalagi jika benar Rasulullah saw. mengharamkannya
maka Ibnu Umar pasti akan berkata Rasulullah saw. telah mengharamkan mendengar
suara seruling dan Ibnu Umar akan memberitahu kepada Nafi tentang ini, tapi
yang ada malah Ibnu Umar hanya berkata Rasulullah SAW berbuat seperti ini. Oleh
karena itu hadis ini lebih tepat menunjukkan ketidaksukaan terhadap suara
seruling dan bukan pengharamannya.
Asy Syaukani menyatakan bahwa Tindakan Rasulullah SAW dan
Ibnu Umar yang tidak melarang pengembala tersebut untuk memainkan serulingnya
adalah dalil yang menunjukkan ketidakharamannya. Lihat, Nailul Authar V:27.
Selain itu Abu Daud juga mencantumkan hadis ini dalam Bab Makruhnya Lagu dan
Seruling yang menunjukkan bahwa Abu Daud sendiri memahami kalau hadis ini tidak
menunjukkan haramnya lagu dan seruling.
Hadis Daif Sanadnya Meski Matannya Jelas Mengharamkan
Musik:
1. Hadis
Riwayat Ahmad.
تَبِيتُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلى أَكْلٍ
وَ شُرْبٍ وَ لَهْوٍ وَ لَعْبٍ ثُمَّ يُصْبِحُونَ قِرَدَةً وَ خَنَازِيرَ وَ
تُبْعَثُ عَلى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَائِهِمْ رِيحٌ فَتَنْسِفُهُمْ كَمَا نُسِفَ
مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِاسْتِحْلاَلِهِمْ الْخَمْرَ وَ ضَرْبِهِمْ بِالدُّفُوفِ
وَ اتِّخَاذِهِمِ الْقَيِّنَاتِ
“Sekumpulan umatku melewati malam dengan makan, minum,
hiburan, dan permainan. Esok harinya mereka ditukar dengan (rupa) monyet dan
babi. Lalu kepada orang yang masih hidup di kalangan mereka diutus angin untuk
memusnahkan mereka sebagaimana telah memusnahkan orang-orang terdahulu
disebabkan karena sikap mereka menghalalkan arak, memukul rebana dan mengambil
biduanita (untuk menyanyi) bagi mereka.” (Musnad Imam Ahmad, V:259 dan Nailul
Authar, VII:98)
Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini melalui Sa’id bin Mansur
dari Al-Harits bin Nabhan, dari Farqad As-Sabakhi, dari Ashim bin Amru, dari
Abu Umamah.
Pada sanad ini terdapat dua rawi yang daif, yaitu al-Harits
bin Nabhan dan Farqad As-Sabakhi. Kata Imam Ahmad sendiri Farqad As-Sabakhi
hadisnya tidak kuat. (Lihat, al-Muhalla, VI:59).
Imam adz-Dzahabi mengatakan bahwa Al-Harits bin Nabhan
riwayatnya menurut Imam al-Bukhari adalah “munkarul hadis”. Menurut Imam
An-Nasai, Hadisnya “matruk”. Ibnu Ma’in berpendapat, Hadis Al-Harits bin Nabhan
“Laisa bi syai” (Lihat, Mizanul I’tidal, I:444, No. Rawi 1649)
Adapun Farqad As-Sabakhi menurut Abu Hatim sanadnya tidak
kuat. Sedangkan Imam Bukhari mengatakan bahwa di dalam hadisnya banyak hadis
yang “munkar”. Kemudian menurut Imam An-Nasai, Hadisnya dha’if dan orangnya
tidak dapat dipercaya. (Lihat, Mizanul I’tidal, III:346, No. Rawi 6699)
2. Hadis Abu
Daud.
Hadis ini datang melalui Sallam bin Miskin yang didengarnya
dari seorang tua yang melihat Abi Wail hadir di suatu pesta pernikahan. Di
pesta itu orang-orang asyik bermain, bersenang-senang dan bernyanyi bergembira.
Waktu itu timbul hasrat Abu Wail untuk mencegahnya. Sambil melepaskan sorban
Abu Wail berkata: “Kudengar dari Abdullah bin Mas’ud bahwa dia pernah mendengar
Rasulullah bersabda:
الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي
الْقَلْبِ
“Lagu atau nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati.”
(Lihat, Sunan Abu Daud, IV: 282, Hadis No. 4927)
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dengan sanadnya
dari Muslim bin Ibrahim, dari Sallam bin Miskin melalui seorang kakek yang
tidak disebutkan namanya. Si kakek itu pernah berjumpa dengan Abu Wail yang
mendengar sebuah hadis Rasulullah saw. dari Ibnu Mas’ud seperti di atas
Pada sanad Hadis tersebut terdapat seseorang yang “majhul”
(tidak dikenal), yaitu seorang kakek tua. Menurut kaidah ilmu Hadis bila
sanadnya majhul, maka Hadis tersebut harus ditolak. Tetapi di dalam sanad Hadis
ini terdapat seseorang yang dapat dipercaya, yaitu Sallam bin Miskin. Namun
Imam Abu Daud mengatakan bahwa perawi tersebut cenderung kepada pendapat
golongan Qadariyah (golongan yang menolak adanya takdir). Karena itu sudah
cukup bagi kita untuk menolak riwayatnya karena berarti ia telah tergolong ke
dalam golongan (Qadariyah) yang berbuat bid’ah. Sedangkan ahli bid’ah tidak
boleh diterima riwayatnya.
Hadis ini juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya,
juga dari Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Adi, dan Ad-Dailami dengan sanad yang dha’if.
Menurut Ibn-ul-Qathan, ia menukilkan pendapat Imam Nawawi yang mengatakan bahwa
Hadis ini tidak shahih. Pendapat ini juga didukung oleh Imam As-Sarkhasi dan
Imam Al-‘Iraqi yang menolak Hadis tersebut karena ada seseorang yang tidak
tercatat namanya.
Imam Al-Baihaqi meriwayatkannya juga dalam kitab Syu’abul
Iman dari Jarir dengan sanad yang di dalamnya terdapat seorang rawi bernama Ali
bin Hammad. Orang ini menurut Imam Daruquthni adalah “matruk” (harus
ditinggalkan).
Selain itu pada sanadnya ada Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin
Ruwat yang menurut Imam Abu Hatim hadisnya munkar seluruhnya. (Lihat, Faidhul
Qadir, IV:413-414)
3. Hadis
Riwayat at-Tirmidzi.
Dari Imran bin Husain bahwa Rasulullah s.a.w. telah
bersabda:
فِي هذِهِ الأُمَّةِ خَسْفٌ وَ مَسْخٌ وَ
قَذْفٌ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ: يَا رَسُولَ اللهِ وَ مَتَى ذلِكَ؟
قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ الْقِيَانُ وَ الْمَعَازِفُ وَ شُرِبَتِ الْخُمُورُ
“Pada umat ini berlaku tanah longsor, pertukaran rupa, dan
kerusuhan.” Bertanya salah seorang di antara kaum Muslimin: “Kapankah yang
demikian itu akan terjadi, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Apabila telah
muncul biduanita, alat-alat musik dan minuman arak di tengah kaum Muslimin.”
(Lihat, Sunan Tirmidzi, hadis No. 2309; Nailul Authar, VIII:98)
Hadis ini walaupun dari segi sanadnya mursal, yang umumnya
ditolak oleh sebagian ahli hadis, tetapi oleh sebagian lainnya dijadikan hujjah
dalam pengambilan hukum dan pendapat. Cara seperti inilah yang dapat diterima.
Tetapi dari segi matannya (isi Hadis), ia tidak menunjukkan bahwa telah diturunkan
azab atas mereka yang berupa tanah longsor, pertukaran rupa dari manusia ke
wajah hewan, terjadinya kerusuhan adalah karena mereka telah menggunakan
alat-alat musik atau karena mereka telah mendengar nyanyian seorang biduanita
dan menenggak minuman keras. Tetapi semua malapetaka yang menimpa mereka
disebabkan oleh karena mereka telah menghalalkan khamr, perzinaan, memakai
sutera (bagi lelaki), dan membolehkan wanita tampil sebagai penyanyi dalam
forum yang bercampur antara lelaki dan perempuan. Selain itu mereka
menghalalkan menggunakan alat-alat musik di luar batas-batas yang telah
ditentukan oleh syara’, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Hadis riwayat
lainnya.
4. Hadis
at-Thabari.
Dari Abu Umamah al-Baahily, ia berkata, “Aku mendengar
Rasulullah s.a.w. bersabda:
لاَ يَحِلُّ تَعْلِيمُ الْمُغَنِّيَاتِ وَ
لاَ بَيْعُهُنَّ وَ لاَ شِرَاؤُهُنَّ وَ ثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ
“Tidak halal mengajari wanita-wanita (untuk menyanyi),
tidak halal memperjualbelikan mereka. Harga jual belinya juga haram. (Hr. Ibnu
Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, XXI: 39; Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, hal.
232)
Imam ath-Thabari berkata: “Terhadap merekalah ayat enam
surat Luqman diturunkan.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam ath-Thabari dari al-Waqi’, dari Khallaf ash-Shaffar, dari ‘Ubaidillah bin Zahhar, dari Ali bin Yazid, dari al-Qasim bin Abdur Rahman, dengan sanad yang lemah, pada sanadnya terdapat rawi bernama Ali bin Yazid. Menurut Imam al-Bukhari dia rawi hadis yang munkar. Imam an-Nasai juga menilai bahwa orang tersebut tidak dapat dipercaya. Abu Zur’ah berkata bahwa hadisnya tidak kuat. Ad-Daruquthni berkata, “orang tersebut matruk. (Lihat, Mizanul I’tidal, III:161, No. Rawi 5966)
5. Hadis Ibnu
Ghailan.
Dari Ali bin Abi Thalib r.a. sesungguhnya Nabi s.a.w.
bersabda:
بُعِثْتُ بِكَسْرِ الْمَزَامِيرِ
“Aku diutus untuk menghancurkan seruling-seruling.” (H.r.
Ibnu Ghailan al-Bazzaz, Nailul Authar, VIII:100; ‘Ala’uddin al-Burhanfuri, Kanzul
Ummal, XV: 226, hadis No. 40689)
Ibnu Ghailan juga meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w.
pernah bersabda:
كَسْبُ الْمُغَنِّي وَ الْمُغَنِّيَةِ
حَرَامٌ
“Penghasilan penyanyi lelaki maupun perempuan adalah
haram.”
Hadis di atas daif, sebab pada sanadnya terdapat dua orang
perawi yang ditolak riwayatnya:
Pertama, ‘Abbad bin Ya’qub. Mengenai orang ini, Imam
az-Zahabi berkata, “Bahwa orang tersebut adalah syi’ah ghulat (ekstrimis).
Kemudian Imam Ibnu Hibban menilai orang ini sebagai pendakwah untuk kalangan golongan
Rafidhah (Syi’ah). Selanjutnya Ibnu Hibban mengatakan bahwa orang ini
meriwayatkan Hadis-Hadis munkar dari orang-orang (perawi) terkemuka. Oleh
karena itu, kata Ibnu Hibban, riwayatnya harus ditinggalkan. (Lihat, Mizanul
I’tidal, II:379, No. Rawi 4149)
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Abbad bin Ya’kub
termasuk salah seorang yang aktif dalam mengembangkan madzhab Syi’ah Rafidhah.
Orang ini selalu mencela ‘Utsman bin ‘Affan dan para sahabat lainnya.
Perbuatannya itu menjadi alasan yang kuat untuk menolak semua riwayatnya.
Selain itu ia juga seorang ahli bid’ah yang menurut kaidah ilmu musthalah
Hadis, tidak bisa diterima riwayatnya.
Kedua, Ja’far bin Muhammad bin ‘Abbad al-Makhzumi.
Mengomentari orang tersebut, Imam an-Nasai berkata: “Dia tidak kuat
riwayatnya”. Sedangkan Ibnu ‘Uyainah mengatakan bahwa orang ini bukan ahli
hadis (tidak bisa diterima riwayatnya). (Lihat, Mizanul I’tidal, I:414, No.
Rawi 1518)
Setelah memperhatikan berbagai dalil tentang lagu &
musik di atas, maka kita tidak bisa menyamaratakan semua nyanyian itu haram
atau mubah karena terdapat dalil-dalil yang membolehkannya di samping dalil
yang mengharamkannya dalam keadaan dan kondisi tertentu. Dari sini dapat
ditarik dua macam hal:
PERTAMA: Nyanyian Yang Haram.
Jenis nyanyian ini terbatas pada nyanyian yang disertai
dengan perbuatan haram atau mungkar, semisal minuman khamr, menampilkan aurat
wanita, atau nyanyiannya berisi sya’ir yang bertentangan dengan aqidah atau
melanggar etika kesopanan Islam. Contoh untuk ini adalah sya’ir lagu kerohanian
agama selain Islam, lagu asmara, lagu rintihan cinta yang membangkitkan birahi,
kotor, dan porno. Tak peduli apakah nyanyian itu berbentuk vokal atau diiringi
dengan musik, baik yang dinyanyikan oleh lelaki maupun wanita. Keharaman karena
keadaan dan kondisi tertentu oleh para ulama fiqih disebut haram ‘aridhi (haram
karena faktor lain: sifat atau penggunaanya).
KEDUA: Nyanyian Yang Mubah.
Kriteria jenis nyanyian ini adalah tidak boleh bercampur
dengan sesuatu yang telah disebutkan dalam jenis nyanyian yang haram di atas.
Tidak juga diadakan di tempat-tempat maksiat, misalnya klub malam, diskotik,
dan sejenisnya, yang di tempat itu wanita dan lelaki bebas bercampur-baur
menari bersama.
Status nyanyian seperti di atas sama halnya dengan nyanyian
yang membangkitkan semangat perjuangan (jihad), atau nyanyian yang sya’irnya
menunjukkan ketinggian ilmu para ulama dan keistimewaan mereka, atau juga
nyanyian yang memuji saudara-saudara maupun sesama teman dengan cara
menonjolkan sifat-sifat mulia yang mereka miliki, atau juga nyanyian yang
melunakkan hati kaum Muslimin terhadap agama, atau yang mendorong mereka untuk
berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Islam dan bahaya yang akan menimpa orang
yang melanggarnya. Begitu pula macam-macam nyanyian yang membicarakan tentang
keindahan alam atau yang membicarakan tentang persoalan ilmu (pandai)
menunggang kuda, dan sebagainya.
SUMBER PENULISAN:
https://www.sigabah.com/status-hukum-lagu-musik-bagian-ke-1/
https://www.sigabah.com/status-hukum-lagu-musik-bagian-ke-2-tamat/
https://cabangmargaasih.blogspot.com/2013/12/status-hukum-lagu-dan-musik_3.html
oleh: Ust. Faqih Aulia (LITKA PC Pemuda PERSIS Batununggal Kota Bandung).
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan