HARAM DURHAKA DAN MEMUTUSKAN PERSAUDARAAN


 بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN RIYADHUS SHALIHIN

باب تحريم العقوق وقطيعة الرحم

HARAMNYA MENDURHAKAI KEDUA ORANG TUA DAN MEMUTUSKAN TALI PERSAUDARAAN

MUQADDIMAH:

Setelah menjelaskan tentang pentingnya berbakti kepada kedua orang tua dan menyambung tali silaturrahim, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah melanjutkan dengan topik yang berkaitan erat dengannya, yaitu tentang haramnya durhaka dan memutus silaturrahim. Ini menandakan bahwa bab ini sama pentingnya dengan bab sebelumnya. Jika kita diperintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua dan menyambung silaturrahim, begitu pula kita dilarang untuk durhaka dan memutus silaturrahim.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah memberi judul bab ini dengan “haramnya durhaka dan memutus rahim”. Di sini ada beberapa point yang perlu kita lihat:

Pertama: Beliau secara sharih menyatakan keharaman durhaka dan memutus rahim. Ini menunjukkan ijma’nya ‘ulama ummat Islam akan keharaman perkara tersebut. Berbeda halnya apabila beliau memberi judul karahiyah (dibenci) atau an-nahyu (larangan) yang barangkali masih ada khilaf di kalangan ‘ulama akan keharamannya. Bisa juga perkara tersebut memiliki tingkatan, adakalanya makruh dan adakalanya haram. Wallahu a’lam.

Sedangkan dalam bab sebelumnya (bab berbakti kepada kedua orang tua dan menyambung silaturrahim), beliau tidak menyebutkan tentang kewajiban. Ini dikarenakan perkara berbakti dan silaturrahim memiliki tingkatan. Ada yang wajib, dan ada pula yang sunnah (contohnya kisah tiga orang penghuni gua. Salah satunya selalu memberikan susu kepada orang tuanya sebelum orang lain, hingga suatu saat dia menunggu hingga pagi karena orang tuanya telah tidur).

Kedua: Beliau hanya menuliskan ‘uquq (durhaka), tetapi yang dimaksud adalah durhaka kepada kedua orang tua atau salah satunya. Dan kata ar-rahim sendiri mencakup kedua orang tua, bahkan mereka adalah ar-rahim yang paling dekat hubungannya.

Kata ‘uquq (العقوق) berasal dari kata al-aqqu (العق) yang artinya adalah al-qat’u (القطع), yaitu memutus. Maksudnya, seseorang melakukan sesuatu yang memutuskan hak seseorang.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim berkata, “Sedangkan hakekat ‘uququl walidain yang diharamkan syari’at, maka definisinya bisa dibilang sangat jarang ditemukan. Asy-Syaikh Al-Imam Abu Muhammad bin ‘Abdussalam rahimahullah berkata, “Aku tidak menjumpai definisi yang tegas tentang ‘uququl walidain dan tentang hak-hak kedua orang tua yang bisa aku jadikan pedoman. Menurut kesepakatan ‘ulama, sesungguhnya seorang anak tidak wajib untuk menaati semua perintah kedua orang tua dan juga tidak harus mematuhi larangan mereka berdua. Namun seorang anak diharamkan untuk turut serta berjihad tanpa izin dari keduanya…” 

Asy-Syaikh Abu ‘Amr bin Ash-Shalah rahimahullah berkata dalam kitab Al-Fataawaa sebagai berikut,”‘Uququl walidain yang haram hukumnya adalah setiap perbuatan yang bisa menyebabkan orang tua terluka atau yang semisalnya. Taat kepada orang tua hukumnya adalah wajib, namun hanya khusus pada perintah yang tidak termasuk kategori maksiat. Apabila seorang anak tidak melaksanakan perintah keduanya yang tidak tergolong maksiat, maka dia sudah termasuk melakukan praktek ‘uquq.” 

Sedangkan memutus ar-rahim (قطيعة الرحم) adalah lawan dari menyambungnya (صلة الرحم).

ALLAH SWT BERFIRMAN:

AYAT PERTAMA:

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ (22) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ (23) 
Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. (Q.S. Muhammad {47}: 22-23)

Keterangan:

Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, atau jika kamu berpaling dari iman, kamu akan berbuat kerusakan di bumi, menumpahkan darah, dan memutuskan hubungan kekeluargaan sehingga kamu saling membenci satu sama lain? Ayat ini mencela kaum munafik yang selalu mengejar ke-senangan hidup di dunia.

Seandainya orang munafik berkuasa pastilah mereka berbuat aniaya dengan menumpahkan darah, merampas harta dan memutuskan hubungan silaturahmi.

Ayat ini mencela sikap kaum munafik yang selalu mengejar kesenangan hidup di dunia, dengan mengatakan, "Hai orang munafik, karena kamu selalu mengejar kesenangan hidup di dunia dan kemewahannya, maka seandainya kamu berkuasa, pastilah kamu mempunyai sifat-sifat ingin mementingkan diri sendiri dengan memperlihatkan kekuasaan kepada rakyat jelata, suka mengambil dan memperkosa hak orang lain, dan memutuskan hubungan silaturrahim yang sangat dianjurkan untuk disambungkan.

Orang-orang munafik yang bersikap seperti yang disebutkan di atas, mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah. Mereka telah dijauhkan dari rahmat dan kasih sayang Allah, lalu dibuat tuli pendengarannya sehingga tidak dapat mengambil pelajaran dari apa yang mereka dengar, dan dibutakan penglihatannya sehingga tidak dapat mengambil manfaat dari apa yang mereka saksikan.

Orang-orang munafik yang bersikap seperti yang disebutkan di atas telah dijauhkan Allah dari rahmat-Nya. Oleh karena itu, Allah menghilangkan pendengaran mereka sehingga tidak dapat mengambil pelajaran dari apa yang dapat mereka dengar, dan Allah membutakan mereka sehingga mereka tidak dapat mengambil manfaat dari apa yang mereka lihat.

AYAT KEDUA:

وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ (25) 
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (Q.S. Ar-Ra’d {13}: 25)

Keterangan:

Dan sebagai kebalikan dari mereka yang menerima kebenaran adalah orang-orang yang menolak kebenaran dengan melanggar dan membatalkan janji dengan sesama manusia yang dikukuhkan dengan nama Allah setelah diikrarkannya, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah agar disambungkan, seperti hubungan kekerabatan, dan berbuat kerusakan di bumi dengan bermaksiat; mereka itu memperoleh kutukan sehingga jauh dari rahmat Allah, dan tempat kediaman yang buruk-neraka Jahanam.

Ada beberapa perjanjian antara Allah dan manusia, di antaranya adalah manusia wajib mengakui kemahaesaan Allah serta kodrat dan iradat-Nya, beriman kepada para nabi-Nya dan wahyu yang diturunkan-Nya, dan sebagainya. Allah swt telah memberikan bukti-bukti dan dalil-dalil yang nyata atas semua itu. Akan tetapi, pada kenyataannya ada di antara manusia yang telah merusak perjanjian tersebut, dalam arti:
Mereka tidak memperhatikan janji-janji tersebut, sehingga mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban yang merupakan akibat yang timbul dari perjanjian itu.

Misalnya, bila mereka benar-benar berpegang teguh kepada tauhid, mereka tentunya tidak akan beribadah kepada selain Allah. Allah memberikan bukti-bukti yang nyata tentang kemahaesaan-Nya. Akan tetapi, mereka tidak memperhatikan sehingga mereka tetap menentang landasan tauhid tersebut. Mereka senantiasa menganut kepercayaan syirik, mempercayai dan menyembah selain Allah.

Pada mulanya mereka memperhatikan janji-janji yang telah mereka ikrarkan dan dalil-dalil yang telah diberikan. Mereka telah mengakui dan meyakini kebenarannya, tetapi kemudian mereka menyangkal kebenaran itu, dan tidak lagi bersedia mengamalkannya. Orang yang suka memungkiri dan menyalahi janji yang telah diikrarkan dinamakan "munafik". Dalam hubungan ini Rasulullah saw telah bersabda: Abi Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, "Tanda-tanda orang munafik ada tiga macam: apabila ia berkata, ia selalu bohong, apabila ia berjanji selalu ingkar, dan apabila ia dipercayai berkhianat." (Riwayat Muslim, at-Tirmidzi dan an-Nasai)

Dalam menafsirkan ayat 25 ini, Abu al-Aliyah, seorang mufasir, me-nyebutkan bahwa ada enam macam sifat orang-orang munafik yang mereka tampakkan jika mereka merasa memiliki posisi yang kuat dalam satu masyarakat, yaitu:

Apabila berbicara, mereka berbohong.

Apabila berjanji, mereka ingkar.

Apabila diberi kepercayaan, mereka berkhianat.

Suka mengingkari janji Allah yang telah mereka ikrarkan sebelumnya.

Suka memutuskan silaturrahim yang diperintahkan Allah untuk di-hubungkan dan dipelihara seperti hubungan dengan para Nabi-Nya yang telah datang membawa kebenaran. Mereka hanya beriman kepada sebagian dari para nabi tersebut, dan kafir terhadap sebagian yang lainnya.

Mereka juga memutuskan silaturrahim antara sesama manusia terutama dengan orang-orang mukmin, tetapi mereka tetap menjaga hubungan dan memberikan bantuan kepada orang-orang kafir. Di antara contohnya adalah mereka menghalang-halangi setiap usaha yang menuju kepada pembinaan kehidupan yang harmonis dan penuh kasih sayang. Mereka tidak sudi melihat terwujudnya persatuan dan kesatuan antara orang-orang mukmin, seperti yang dianjurkan Rasulullah: Orang mukmin terhadap orang mukmin yang lain haruslah seperti suatu bangunan, bagian yang satu menguatkan bagian yang lain. (Riwayat al-Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi dari Abu Musa al-Asyari)

Dan Sabda Rasulullah saw: Orang-orang mukmin itu adalah seperti satu tubuh, apabila salah satu anggotanya menderita sakit, maka anggota-anggota yang lain pun rela pula menderita karena tidak tidur dan merasa demam karenanya. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari an-Numan bin Basyir)

Oleh sebab itu, umat Islam haruslah hati-hati dalam menjaga kesatuan dan persatuan antara mereka, jangan dimasuki hasutan dan usaha-usaha kaum munafik untuk memecah belah persatuan itu. 

Mereka suka berbuat kerusakan di bumi, baik berupa kezaliman yang mereka lakukan terhadap diri sendiri maupun kezaliman yang mereka lakukan terhadap hak milik orang lain dengan jalan yang tidak sah, ataupun dengan menimbulkan fitnah dan bencana dalam masyarakat Muslimin, dan mengobarkan permusuhan dan peperangan terhadap mereka.

Pada akhir ayat ini, Allah menetapkan hukuman yang layak untuk ditimpakan kepada orang munafik mengingat jahatnya kelakuan dan perbuatan-perbuatan mereka. Hukuman tersebut ialah berupa laknat Allah, yaitu menjauhkan mereka dari rahmat-Nya, sehingga mereka tersingkir dari kebaikan dunia dan akhirat. Mereka akan menemui kesudahan yang sangat buruk, yaitu azab neraka Jahanam, sebagai balasan dari kejahatan dan dosa-dosa yang telah mereka perbuat.

AYAT KETIGA: 

وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّي ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24) 
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S. Al-Isra {17}: 23-24)

Keterangan:

Setelah menjelaskan penggolongan manusia menjadi dua golongan; ada yang menghendaki kehidupan dunia saja dan ada yang menghendaki kehidupan akhirat di samping kehidupan dunia, kelompok ayat ini selanjutnya menjelaskan tatakrama pergaulan antar manusia dalam kehidupannya. Ayat ini menyatakan, "Dan Tuhanmu telah menetapkan dan memerintahkan agar kamu wahai sekalian manusia jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaikbaiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dan mereka berada dalam pemeliharaanmu, maka sekalikali janganlah kamu menyakiti keduanya, misalnya dengan mengatakan kepada keduanya perkataan "ah", yakni perkataan yang mengandung makna kemarahan atau kejemuan, dan janganlah engkau membentak keduanya jika mereka merepotkan kamu atau berbuat sesuatu yang kamu tidak menyukainya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia, yakni perkataan yang baik, yang mengandung penghormatan dan kasih sayang."

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada seluruh manusia, agar mereka memperhatikan beberapa faktor yang terkait dengan keimanan. Faktor-faktor itu ialah:

Pertama, agar manusia tidak menyembah tuhan selain Allah. Termasuk pada pengertian menyembah tuhan selain Allah ialah mempercayai adanya kekuatan lain yang dapat mempengaruhi jiwa dan raga selain yang datang dari Allah. Semua benda yang ada, yang kelihatan ataupun yang tidak, adalah makhluk Allah. Oleh sebab itu, yang berhak mendapat penghormatan tertinggi hanyalah Zat yang menciptakan alam dan semua isinya. Dialah yang memberikan kehidupan dan kenikmatan kepada seluruh makhluk-Nya. Maka apabila ada manusia yang memuja benda ataupun kekuatan gaib selain Allah, berarti ia telah sesat, karena semua benda-benda itu adalah makhluk-Nya, yang tak berkuasa memberikan manfaat dan tak berdaya untuk menolak kemudaratan, sehingga tak berhak disembah.

Kedua, agar manusia berbuat baik kepada kedua ibu bapak mereka. Penyebutan perintah ini sesudah perintah beribadah hanya kepada Allah mempunyai maksud agar manusia memahami betapa pentingnya berbuat baik terhadap ibu bapak. Juga bermaksud agar mereka mensyukuri kebaikan kedua ibu bapak, betapa beratnya penderitaan yang telah mereka rasakan, baik pada saat melahirkan maupun ketika kesulitan dalam mencari nafkah, mengasuh, dan mendidik anak-anak dengan penuh kasih sayang. Maka pantaslah apabila berbuat baik kepada kedua ibu bapak dijadikan sebagai kewajiban yang paling penting di antara kewajiban-kewajiban yang lain, dan diletakkan Allah dalam urutan kedua sesudah kewajiban manusia beribadah hanya kepada-Nya. Allah berfirman: Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua. (an-Nisa'/4: 36)

Sebaliknya, anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya dinyatakan sebagai orang yang berbuat maksiat, yang dosanya diletakkan pada urutan kedua, sesudah dosa orang yang mempersekutukan Allah dengan tuhan-tuhan yang lain.

Allah swt berfirman: Katakanlah (Muhammad), "Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, dan berbuat baik kepada ibu bapak. (al-An'am/6: 151)

Allah swt memerintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tua karena beberapa alasan berikut:
Kasih sayang dan usaha kedua ibu bapak telah dicurahkan kepada anak-anaknya agar mereka menjadi anak-anak yang saleh, dan terhindar dari jalan yang sesat. Maka sepantasnyalah apabila kasih sayang yang tiada taranya itu, dan usaha yang tak mengenal susah payah itu mendapat balasan dari anak-anak mereka dengan memperlakukan mereka dengan baik dan mensyukuri jasa baik mereka.
Anak-anak adalah belahan jiwa dari kedua ibu bapak.

Sejak masih bayi hingga dewasa, pertumbuhan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Maka seharusnyalah anak-anak menghormati dan berbuat baik kepada orang tuanya.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa nikmat yang paling banyak diterima oleh manusia ialah nikmat Allah, sesudah itu nikmat yang diterima dari kedua ibu bapak. Mereka juga penyebab kedua adanya anak, sedangkan Allah adalah penyebab pertama (hakiki). Itulah sebabnya maka Allah swt meletakkan kewajiban berbuat baik kepada ibu bapak pada urutan kedua sesudah kewajiban manusia beribadah hanya kepada Allah.

Sesudah itu Allah swt menetapkan bahwa apabila salah seorang di antara kedua ibu bapak atau kedua-duanya telah berumur lanjut, sehingga mengalami kelemahan jasmani, dan tak mungkin lagi berusaha mencari nafkah, mereka harus hidup bersama dengan anak-anaknya, agar mendapatkan nafkah dan perlindungan.

Menjadi kewajiban bagi anak-anaknya untuk memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang dan kesabaran, serta menghormati mereka sebagai rasa syukur terhadap nikmat yang pernah diterima dari keduanya.

Dalam ayat ini terdapat beberapa ketentuan dan sopan santun yang harus diperhatikan anak terhadap kedua ibu bapaknya, antara lain:

Seorang anak tidak boleh mengucapkan kata kotor dan kasar meskipun hanya berupa kata "ah" kepada kedua ibu bapaknya, karena sikap atau perbuatan mereka yang kurang disenangi. Keadaan seperti itu seharusnya disikapi dengan sabar, sebagaimana perlakuan kedua ibu bapaknya ketika merawat dan mendidiknya di waktu masih kecil.

Seorang anak tidak boleh menghardik atau membentak kedua ibu bapaknya, sebab bentakan itu akan melukai perasaan keduanya. Menghardik kedua ibu bapak ialah mengeluarkan kata-kata kasar pada saat si anak menolak atau menyalahkan pendapat mereka, sebab tidak sesuai dengan pendapatnya. Larangan menghardik dalam ayat ini adalah sebagai penguat dari larangan mengatakan "ah" yang biasanya diucapkan oleh seorang anak terhadap kedua ibu bapaknya pada saat ia tidak menyetujui pendapat mereka.

Hendaklah anak mengucapkan kata-kata yang mulia kepada kedua ibu bapak. Kata-kata yang mulia ialah kata-kata yang baik dan diucapkan dengan penuh hormat, yang menggambarkan adab sopan santun dan penghargaan penuh terhadap orang lain. Oleh karena itu, jika seorang anak berbeda pendapat dengan kedua ibu bapaknya, hendaklah ia tetap menunjukkan sikap yang sopan dan penuh rasa hormat.

(24) Kemudian Allah swt memerintahkan kepada kaum Muslimin agar bersikap rendah hati dan penuh kasih sayang kepada kedua orang tua. Yang dimaksud dengan sikap rendah hati dalam ayat ini ialah menaati apa yang mereka perintahkan selama perintah itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama. Taat anak kepada kedua orang tua merupakan tanda kasih sayang dan hormatnya kepada mereka, terutama pada saat keduanya sangat memerlukan pertolongan anaknya.
Ditegaskan bahwa sikap rendah hati itu haruslah dilakukan dengan penuh kasih sayang, tidak dibuat-buat untuk sekadar menutupi celaan atau menghindari rasa malu pada orang lain. Sikap rendah hati itu hendaknya betul-betul dilakukan karena kesadaran yang timbul dari hati nurani.
Di akhir ayat, Allah swt memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk mendoakan kedua ibu bapak mereka, agar diberi limpahan kasih sayang Allah sebagai imbalan dari kasih sayang keduanya dalam mendidik mereka ketika masih kanak-kanak.

Ada beberapa hadis Nabi saw yang memerintahkan agar kaum Muslimin berbakti kepada kedua ibu bapaknya: Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar bahwa sesungguhnya telah datang seorang laki-laki kepada Nabi saw meminta izin kepadanya, agar diperbolehkan ikut berperang bersamanya, lalu Nabi bersabda, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" Orang laki-laki itu menjawab, "Ya." Nabi bersabda, "Maka berjihadlah kamu dengan berbakti kepada kedua orang tuamu." (Riwayat Muslim dan al-Bukhari dalam bab al-adab)

Seorang anak belumlah dianggap membalas jasa kedua ibu bapaknya, kecuali apabila ia menemukan mereka dalam keadaan menjadi budak, kemudian ia menebus mereka dan memerdekakannya. (Riwayat Muslim dan lainnya dari Abu Hurairah)
Saya bertanya kepada Rasulullah saw, "Amal yang manakah yang paling dicintai Allah dan Rasul-Nya?" Rasulullah menjawab, "Melakukan salat pada waktunya." Saya bertanya, "Kemudian amal yang mana lagi?" Rasulullah menjawab, "Berbuat baik kepada kedua ibu bapak." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud)

Di dalam ayat yang ditafsirkan di atas tidak diterangkan siapakah yang harus didahulukan mendapat bakti antara kedua ibu bapak. Akan tetapi, dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa berbakti kepada ibu didahulukan daripada kepada bapak, seperti diriwayatkan dalam shahih al-Bukhari dan Muslim: Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw ditanya, "Siapakah yang paling berhak mendapat perlakuan yang paling baik dariku?" Rasulullah menjawab, "Ibumu." Orang itu bertanya, "Siapa lagi?" Rasulullah menjawab, "Ibumu." Orang itu bertanya, "Siapa lagi?" Rasulullah menjawab, "Ibumu." Orang itu bertanya, "Siapa lagi?" Rasulullah menjawab, "Bapakmu." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Berbakti kepada kedua orang tua, tidak cukup dilakukan pada saat mereka masih hidup, akan tetapi terus berlanjut meskipun keduanya sudah meninggal dunia. Adapun tata caranya disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah: Bahwa Rasulullah saw ditanya, "Masih adakah kebaktian kepada kedua orang tuaku, setelah mereka meninggal dunia?" Rasulullah saw menjawab, "Ya, masih ada empat perkara, mendoakan ibu bapak itu kepada Allah, memintakan ampun bagi mereka, menunaikan janji mereka, dan meng-hormati teman-teman mereka serta menghubungkan tali persaudaraan dengan orang-orang yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan kamu kecuali dari pihak mereka. Maka inilah kebaktian yang masih tinggal yang harus kamu tunaikan, sebagai kebaktian kepada mereka setelah mereka meninggal dunia." (Riwayat Ibnu Majah dari Abu Usaid)

Adapun haditsnya antara lain:

HADITS PERTAMA:

وعن أَبي بكرة نُفَيع بن الحارث - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم: «ألا أُنَبِّئُكُمْ بأكْبَرِ الكَبَائِرِ؟» - ثلاثًا - قُلْنَا: بَلَى، يَا رَسُول الله، قَالَ: «الإشْرَاكُ بالله، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ»، وكان مُتَّكِئًا فَجَلَسَ، فَقَالَ: «ألاَ وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ» فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ. مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Abu Bakrah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan dari Nabi - ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, bahwa beliau bersabda, "Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang dosa-dosa besar yang paling besar?" Beliau mengulanginya hingga tiga kali. Kami menjawab, "Tentu, wahai Rasulullah!" Beliau bersabda, "(Yaitu) menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua." Beliau pada waktu itu bersandar, lalu duduk kemudian meneruskan sabdanya, "Ingatlah juga perkataan palsu dan kesaksian palsu." Beliau terus-menerus mengulanginya sampai kami berkata, "Andai saja beliau diam (berhenti)." (H.R. Muttafaq Alaih)

Keterangan:

Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda kepada para sahabatnya, "Maukah aku beritahukan kepada kalian," yakni, aku kabarkan kepada kalian mengenai dosa-dosa besar yang paling besar. Lantas beliau menyebutkan tiga dosa tersebut. Pertama, menyekutukan Allah, yaitu pelanggaran terhadap kedudukan ulūhiyyah (keilahian-Nya), merampas hak Allah -Subhānahu wa Ta'ālā-, dan menyerahkannya kepada yang tidak pantas mendapatkannya dari kalangan makhluk yang lemah. Kedua, durhaka kepada kedua orang tua yang merupakan dosa yang keji karena merupakan tindakan membalas kebaikan dengan keburukan kepada manusia yang paling dekat. Ketiga, kesaksian palsu yang bersifat umum bagi setiap ucapan palsu dan dusta yang bertujuan menzalimi orang lain dengan mengambil hartanya, menodai kehormatannya, atau selain itu. 

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

Mengingatkan dengan pertanyaan perihal dosa terbesar.

Dosa besar itu durhaka kepada kedua orang tua dan bersaksi palsu.

Dosa paling besar adalah menyekutukan Allah dan berbohong.

Kecintaan para sahabat kepada Nabi Muhammad saw.

Tiga perkara yang harus dijauhi oleh seorang muslim agar selamat di dunia dan akhirat, yaitu menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, dan bersaksi palsu.

HADITS KEDUA:

وعن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما، عن النَّبيّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: «الكَبَائِرُ: الإشْرَاكُ بالله، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ، وَقَتْلُ النَّفْس، وَاليَمِينُ الغَمُوسُ». رواه البخاري.
Abdullah bin 'Amr bin Al-Āṣ -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, bahwa beliau bersabda, "Dosa-dosa besar itu ialah menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa, dan sumpah palsu." (H.R. Bukhari)

Keterangan:

Hadis ini mengkaji sejumlah dosa yang dideskripsikan sebagai dosa-dosa besar. Dinamakan demikian karena bahayanya yang besar terhadap pelakunya dan kepada manusia lainnya di dunia dan akhirat. Pertama: "Menyekutukan Allah" yaitu kufur kepada Allah dengan menyembah selain-Nya bersama-Nya, dan mengingkari ibadah kepada Rabb-nya. Kedua: "Durhaka kepada kedua orang tua." Hakikat durhaka adalah melakukan tindakan yang menurut kebiasaan dapat menyakiti kedua orang tuanya atau salah satunya, seperti tidak menghormati keduanya, mencela mereka, tidak mengurus dan memelihara mereka saat mereka membutuhkannya. Ketiga: "Membunuh jiwa," yakni membunuhnya tanpa hak, seperti membunuh secara zalim atau karena permusuhan. Adapun jika seseorang berhak untuk dibunuh dengan benar berupa kisas dan lainnya, maka tidak masuk ke dalam makna hadis ini. Selanjutnya, hadis ini diakhiri dengan ancaman terhadap sumpah palsu. Sumpah palsu dinamakan "al-gamūs" (yang menenggelamkan) karena menenggelamkan pelakunya dalam dosa atau dalam neraka, lantaran ia bersumpah dengan dusta padahal dia mengetahuinya. 

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

Menegaskan hadits sebelumnya, perihal perbuatan yang sangat besar dosanya.
Dosa besar orang yang menghilangkan nyawa seseorang, atau juga bunuh diri, sebab nyawa adalah hak Allah.

HADITS KETIGA:

وعنه أن رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: «مِنَ الكَبَائِر شَتْمُ الرَّجُل وَالِدَيهِ!»، قالوا: يَا رَسُولَ الله، وَهَلْ يَشْتُمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟! قَالَ: «نَعَمْ، يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أبَاه، وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ». مُتَّفَقٌ عَلَيهِ
Dari Abdullah bin 'Amr bin al-'Āṣ -raḍiyallāhu 'anhumā- bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Termasuk dosa besar seseorang mencela kedua orang tuanya." Dikatakan, "Apakah mungkin seseorang mencela kedua orang tuanya?" Nabi bersabda, "Ya. Seseorang mencela bapak orang lain sehingga orang itu pun mencela bapaknya, dan mencela ibunya sehingga orang itu pun mencela ibunya sendiri." (H.R. Muttafaq Alaih)

Keterangan:

Hadis ini merupakan dalil besarnya hak kedua orang tua dan bahwasanya perbuatan yang bisa menjadi sebab penderitaan keduanya atau munculnya celaan pada keduanya termasuk dosa besar. Jika dosa besar ini berkaitan pada sebab adanya celaan dan ejekan pada keduanya, maka melaknat keduanya secara langsung tentu lebih besar keburukan dan dosanya. Setelah beliau memberitahu bahwa mencela keduanya termasuk dosa besar, maka orang-orang yang hadir merasa kaget dengan hal tersebut karena tidak terlintas dalam pemikiran mereka bahwa ada orang yang mencela kedua orang tuanya secara langsung. Lantas beliau memberitahu mereka bahwa hal itu bisa saja terjadi melalui sebab adanya celaan kepada keduanya, yaitu ketika seseorang mencela bapak dan ibu orang lain maka orang lain tersebut pun akan membalas mencela bapak dan ibunya juga. 

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

Perbuatan yang disebut dalam hadits ini adalah bahaya timbal balik yang dilakukan oleh orang yang dizalimi.

Menghina orang tua seseorang, akan membuat orang yang dihina membalas menghina orang tua si pelaku.

HADITS KEEMPAT:

وعن أَبي محمد جبيرِ بن مطعم - رضي الله عنه: أن رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: «لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ قَاطِعٌ».
Jubair bin Muṭ'im -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan secara marfū': "Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan silaturahmi." (H.R. Muttafaq Alaih)

Keterangan:

Hadis ini merupakan dalil pengharaman memutuskan silaturahmi dan bahwa perbuatan ini termasuk dosa besar. Makna hadis ini adalah menafikan masuk surga yang tanpa didahului siksaan, dan bukan menafikan masuk surga secara mutlak. Sebab, orang yang memutuskan silaturahmi itu bukan orang kafir yang diharamkan baginya surga, tetapi pasti tempat kembalinya ke surga selama dia mengesakan Allah. Hanya saja, masuknya ke surga didahului oleh siksaan sesuai dengan kadar dosanya. 

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

Ancaman kepada orang yang memutuskan silaturahmi, yaitu terhalangnya seseorang masuk ke Surga. Terlebih orang tersebut sudah tahu akan hukum haramnya memutuskan silaturahmi, tetapi malah melakukannya.

HADITS KELIMA:

وعن أَبي عيسى المغيرة بن شعبة - رضي الله عنه - عن النَّبيّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: «إنَّ اللهَ تَعَالَى حَرَّمَ عَلَيْكُمْ: عُقُوقَ الأُمَّهَاتِ، وَمَنْعًا وَهَاتِ، وَوَأْدَ البَنَاتِ، وكَرِهَ لَكُمْ: قِيلَ وَقالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإضَاعَةَ المَالِ». مُتَّفَقٌ عَلَيهِ
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasûlullâh ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan pada kalian durhaka kepada ibu, mengubur anak perempuan hidup-hidup, menahan dan menuntut, dan dia tidak suka kalian banyak bicara, banyak bertanya, dan menghambur-hamburkan harta.” (H.R. Muttafaq Alaih)

Keterangan:

Yang dimaksud ‘uquq atau durhaka pada orang tua adalah membangkang dan meninggalkan berbuat baik kepada keduanya. Standar ‘uquq atau durhaka adalah seorang anak menyakiti orang tua dengan perkataan atau perbuatannya. (Demikian disebutkan dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram karya Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan, 10:93.)

Kenapa yang dilarang keras dalam hadits adalah durhaka kepada ibu? Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah menyatakan karena bentuk kedurhakaan yang dilakukan oleh anak sering pada ibunya. Dan ibu adalah seorang wanita yang lemah. Kehormatan ibu juga lebih dari kehormatan kepada bapak.

Orang di masa jahiliyyah biasa mengubur anak perempuan hidup-hidup karena tidak suka dengan lahirnya anak perempuan dibanding dengan laki-laki.

Man’an wa haat yang dimaksud adalah menghalangi orang lain dapat kemanfaatan, juga menuntut yang bukan haknya dari harta atau kemanfaatan. Bentuk man’an di sini adalah menghalangi orang untuk mendapatkan haknya. Bentuk lainnya adalah menunda melunasi hutang. Sedangkan bentuk haat adalah merampas harta orang lain yang bukan haknya.

Qiila wa qaala yang dimaksud adalah banyak bicara yang tidak manfaat. Juga termasuk di dalamnya adalah menceburkan diri dalam membicarakan berita-berita yang tidak jelas. Di dalamnya juga menukil perkataan orang lain tanpa tatsabbut (kroscek) terlebih dahulu. Para ulama' mengatakan bahwa qiila wa qaala hanya digunakan untuk konteks yang jelek.

Katsratus suu-al maksudnya adalah:
Banyak meminta harta dalam hal mubah, dan
Banyak bertanya yang tidak dibutuhkan ilmunya.

Idha’atul maal yang dimaksud adalah menyalurkan harta pada jalan yang tidak diizinkan oleh syariat, juga termasuk tidak menjaganya sampai harta tersebut disia-siakan atau diambil pencuri. Termasuk idha’atul maal adalah menyerahkan penggunaan harta pada anak kecil (yang belum bisa memanfaatkannya). Termasuk pula di dalamnya adalah menelantarkan harta dari dijaga sampai tidak dimanfaatkan sama sekali.

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

Haram durhaka kepada kedua orang tua, pada hadits ini hanya disebut ibu, sebab mereka rentan terhadap perlakuan dosa dari anaknya karena kelemahannya.

Larangan untuk tidak melaksanakan sesuatu yang sudah Allah perintahkan.

Mengubur anak hidup-hidup karena aib keluarga adalah perilaku jahiliyyah sebelum datangnya Islam.

Larangan banyak bicara yang tidak bermanfaat. 

Larangan menyia-nyiakan harta disaat banyak orang lain yang membutuhkan.
Hadits ini adalah dasar-dasar perbuatan baik yang selayaknya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia, Bidang Jam'iyyah PC Pemuda Persis Batununggal Kota Bandung.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama