Beribadah tanpa musyrik itu
bagaikan sebatang pohon hidup yang sehat kokoh dan asri tanpa benalu yang
menempel. Pun perlu terus diperiksa, dirawat, dikontrol, dan dievaluasi
jangan-jangan benalu itu tumbuh tidak ketahuan, tahu-tahu sudah menutupi
seluruh batang pohon.
Musyrik adalah seseorang menduakan Allah Ta’ala atau mengadakan
perbandingan selain Allah Ta’ala dalam beribadah, baik ibadah hati, lisan,
ataupun perbuatan. Dosa terbesar dan tertinggi adalah musyrik, ia tidak bisa
dihapus dengan amal shalih, tetapi wajib bertaubat darinya.
Syirik terbagi dua, syirik akbar dan syirik ashghar. Syirik akbar atau
syirik besar adalah beribadah kepada selain Allah dengan menyembah patung,
batu, bulan, matahari, api, manusia, dan lain sebagainya. Adapun syirik ashghar
atau syirik kecil diantaranya adalah riya, yakni beribadah kepada Allah Ta’ala
namun niatnya mengharap kepada selain Allah Ta’ala seperti mengharap imbalan
dari manusia.
Terdapat beragam ayat dan berbagai hadis yang melarang berbuat syirik,
dimana pelakunya disebut musyrik. Diantaranya pada al-Qur’an surat an-Nisaa [4]
ayat 36 sebagai berikut:
وَقَوْلُهُ: {اعْبُدُوا
اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً}
Firman Allah Ta’ala, “Beribadahlah kepada Allah [saja] dan janganlah
berbuat syirik kepada-Nya.” (Qs. An-Nisaa [4]: 36)
Terkait ayat tersebut, Imam Alu Syaikh penyusun Kitab Fathul Majid
syarah Kitab at-Tauhid mengutip penjelasan Imam Ibnu Katsir sebagai berikut:
قَالَ العِمَادُ ابْنُ
كَثِيْرٍ -رَحِمَهُ اللهُ- فِيْ هذِهِ الآيةِ: "يَأْمُرُ اللهُ تَعَالَى عِبَادَهُ
بِعِبَادَتِهِ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ فَإِنَّهُ الخَالِقُ الرَّازِقُ الْمُتَفَضِّلُ
عَلَى خَلْقِهِ فِيْ جَمِيْعِ الْحَالَاتِ، وَهُوَ الْمُسْتَحِقُّ مِنْهُمْ أَنْ يُوَحِّدُوْهُ
وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا مِنْ مَخْلُوْقَاتِهِ". اِنْتَهَى.
al-‘Imâd Ibnu Katsir
berkata berkenaan dengan ayat ini, “Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya agar
beribadah kepada-Nya semata Yang tiada sekutu bagi-Nya, karena Dia-lah Yang
Maha Pencipta dan Pemberi rezeki Yang senantiasa memberikan hal itu kepada
seluruh makhluk-Nya dalam semua kondisi. Dia-lah Yang berhak untuk ditauhidkan
oleh mereka dan tidak disekutukan dengan sesuatupun dari makhluk-makhluk-Nya.”
Demikian perkataan Ibnu Katsir.
Maha Pencipta-Nya Allah Ta’ala berbeda dengan manusia mencipta ataupun
menemukan. Manusia mencipta ataupun menemukan itu perlu contoh dan bahan. Tidak
ada seorang manusia pun yang mencipta ataupun menemukan tanpa bahan dan contoh,
minimal badan yang dia gunakan dan pikiran serta perasaan yang dia olah adalah
ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla, maka tidak demikian Allah Ta’ala.
Allah Maha Pemberi rezeki berbeda dengan manusia yang sekedar bisa
mencari atau berikhtiyar, sedangkan tentang besar dan kecilnya juga berhasil
dan tidaknya tergantung kepada kuasa Ilahi.
Allah Maha Pemberi rezeki dalam segala keadaan, berbeda dengan manusia
yang terkadang memberi kepada makhluk lain (manusia, hewan, dan tumbuhan)
terbatas oleh keadaan manusia itu. Jika ia sedang ikhlas hatinya, sehat
badannya, dan memiliki hartanya, maka barulah dia bisa memberi, maka Allah
Ta’ala sangatlah berbeda. Dia mampu memberi rezeki dalam segala keadaan tanpa
Batasan apapun.
Dengan segala Kemaha kuasaan Allah Ta’ala, maka Dia sajalah yang pantas
untuk ditauhidkan, Dia saja yang pantas untuk diibadahi. Tidak ada seorang atau
sesuatu pun yang sama dengan Allah Ta’ala, maka haram ada serikat ataupun
perbandingan bagi-Nya dalam aqidah, ibadah, dan akhlaq makhluk kepada-Nya.
Selanjutnya, Imam Alu Syaikh menjelaskan sebagai berikut:
وَهذِهِ الآيةُ هِيَ
الَّتِيْ تُسَمَّى آيَةُ الْحُقُوْقُ العَشَرَةُ، وَفِيْ بَعْضِ النُّسْخِ الْمُعْتَمَدَةِ
مِنْ نُسْخِ هذَا الكِتَابِ تَقْدِيْمُ هذِهِ الآيةِ عَلَى آيةِ الأَنْعَامِ، وَلِهذَا
قَدَّمْتُهَا لِمُنَاسَبَةِ كَلَامِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ الآتِي لِآيةِ الأَنْعَامِ، لِيَكُوْنَ
ذَكَرَهُ بَعْدَهَا أَنْسَبُ.
Ayat inilah yang dinamakan dengan ayat al Huquq al-‘Asyarah (ayat
yang berisi sepuluh hak [kewajiban]), dan dalam Sebagian manuskrip buku ini
(Kitab Tauhid) yang dapat dipertanggungjawabkan, ayat ini ditulis setelah ayat
surat al-An’am. Karena itu, di sini saya (Alu Syaikh) dahulukan agar ada
korelasinya dengan perkataan Ibnu Mas’ud yang akan datang dalam pembahasan
tentang ayat surat al-An’am, sehingga pembahasan setelahnya lebih sesuai.
Adapun ayat al Huquq al-‘Asyarah yang dimaksud oleh Imam Alu
Syaikh pada al-Qur’an surat al-An’am ayat 151-152 adalah sebagai berikut:
قُلْ تَعَالَوْا۟
أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu yaitu:
أَلَّا
تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا ۖ
1]janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ
إِحْسَٰنًا ۖ
2]berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa,
وَلَا
تَقْتُلُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُم مِّنْ إِمْلَٰقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ ۖ
3]dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan,
Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka,
وَلَا
تَقْرَبُوا۟ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
4]dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang
nampak di antaranya
وَمَا بَطَنَ ۖ
5]maupun yang tersembunyi,
وَلَا
تَقْتُلُوا۟ ٱلنَّفْسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلْحَقِّ ۚ ذَٰلِكُمْ
وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
6]dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang
diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
وَلَا
تَقْرَبُوا۟ مَالَ ٱلْيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ
أَشُدَّهُۥ ۖ
7]Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.
وَأَوْفُوا۟ ٱلْكَيْلَ
وَٱلْمِيزَانَ بِٱلْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۖ
8]Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak
memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya.
وَإِذَا قُلْتُمْ
فَٱعْدِلُوا۟ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۖ
9]Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun
ia adalah kerabat(mu),
وَبِعَهْدِ ٱللَّهِ
أَوْفُوا۟ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
10]dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat.
Selanjutnya, Imam Muhammad bin Abdul Wahhab pada Kitab at-Tauhid yang
dijelaskan oleh Imam Alu Syaikh pada Kitab Fathul Majid mengutip ayat berikut:
وَقَوْلُهُ تَعَالَى:
{قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ
شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً} الآيَات.
Firman Allah Ta’ala, “Katakanlah (Muhammad), ‘Marilah kubacakan apa
yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu; janganlah kamu berbuat syirik
sedikitpun kepada-Nya, berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak’.” (Qs.
Al-An’am [6]: 151)
قَالَ العِمَادُ ابْنُ
كَثِيْرٍ -رَحِمَهُ اللهُ-: " يَقُوْلُ تَعَالَى لِنَبِيِّهِ وَرَسُوْلِهِ مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " قُلْ " لِهؤُلَاءِ الْمُشْرِكِيْنَ الَّذِيْنَ
عَبَدُوْا غَيْرَ اللهِ، وَحَرَّمُوْا مَا رَزَقَهُمُ اللهُ، " تَعَالَوْا
" أَيْ هَلُمُّوْا وَأَقْبِلُوْا " أَتْلُ " أَقُصُّ عَلَيْكُمْ {مَا
حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ} حَقًّا، لَا تَخْرُصًا وَلَا ظَنًّا، بَلْ وَحْيًا مِنْهُ
وَأَمْرًا مِنْ عِنْدِهِ {ما حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ} وَكَانَ فِي الكَلَامِ
مَحْذُوْفًا دَلَّ عَلَيْهِ السِّيَاقُ تَقْدِيْرُهُ: وَصَّاكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوْا
بِهِ شَيْئًا، وَلِهذَا قَالَ فِيْ آخِرِ الآيةِ {ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ}ا هـ.
Al-‘Imâd Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi dan Rasul-Nya ‘Muhammad saw.’
‘Qul’, (katakanlah), yakni katakan kepada orang-orang musyrikin yang
beribadah kepada selain Allah dan mengharamkan apa yang telah direzekikan oleh
Allah kepada mereka. ‘Ta’âlaw’, yakni marilah dan datanglah. ‘Atlu’,
yakni aku paparkan kepada kalian. ‘maa harroma Robbukum’, (Apa yang
diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu) dengan sebenar-benarnya bukan atas dasar
praduga dan sangkaan, akan tetapi berdasarkan wahyu dan perintah dari-Nya. ‘Allaa
tusyrikuu bihiii syaian’, (Janganlah kamu berbuat syirik sedikitpun), yakni
seakan dalam ungkapan tersebut ada sesuatu yang dibuang yang dapat disimpulkan
dari alur ungkapan tersebut yang takwilnya adalah, ‘washshookum Allaa
tusyrikuu bihiii syaian,’ (Dia Ta’ala berwasiat kepada kamu agar tidak
berbuat syirik kepada-Nya sedikitpun). Oleh karena itu, di akhir ayat Allah
Ta’ala menutup dengan firman-Nya, ‘Dzaalikum washshookum’, (Yang
demikian itu diwasiatkan oleh Allah kepadamu).”
Orang-orang musyrikin yang beribadah kepada selain Allah dan
mengharamkan apa yang telah direzekikan oleh Allah kepada mereka, yakni setiap
sembelihan mereka kepada para dewa, orang shalih yang telah wafat, pohon, dan
batu; maka sembelihan atau makanan apapun yang mereka sembahkan beranggapan
bahwa itu semua tidak boleh dimakan karena ia telah menjadi hak yang mereka
sembah. Inilah kemusyrikan yang nyata.
قُلْتُ: فَيَكُوْنُ
الْمَعْنَى: حَرَّمَ عَلَيْكُمْ مَا وَصَّاكُمْ بِتَرْكِهِ مِنَ الإِشْرَاكِ بِهِ،
وَفِي الْمُغْنِي لِابْنِ هِشَامٍ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى: " أَلَّا تُشْرِكُوْا
بِهِ شَيْئًا" سَبْعَةُ أَقْوَالٍ: أَحْسَنُهَا: هذَا الَّذِيْ ذَكَرَهُ ابْنُ
كَثِيْرٍ، وَيَلِيْهِ: بَيْنَ لَكُمْ ذَالِكَ لَئَلَّا تُشْرِكُوْا، فَحُذِفَتِ الْجُمْلَةُ
مِنْ أَحَدِهِمَا، وَهِيَ " وَصَّاكُمْ " وَحَرْفُ الْجَرِّ وَمَا قَبْلَهُ
مِنَ الأُخْرَى. وَلِهذَا إِذَا سُئِلُوْا عَمَّا يَقُوْلُ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوْا: يَقُوْلُ: " اُعْبُدُوْا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوْا
بِهِ شَيْئًا وَاتْرُكُوْا مَا يَقُوْلُ آبَاؤُكُم " كَمَا قَالَ أَبُوْ سُفْيَانَ
لِهِرَقْلَ وَهذَا هُوَ الَّذِيْ فَهِمَهُ أَبُوْ سُفْيَانَ وَغَيْرُهُ مِنْ قَوْلِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُمْ!: " قُوْلُوْا لَا إِلهَ
إِلَّا اللهُ تُفْلِحُوْا ".
Menurut saya (Alu Syaikh), makna ayat tersebut adalah bahwa Allah Ta’ala
telah mengharamkan atas kamu apa yang telah diwasiatkan oleh-Nya kepada kamu
berupa meninggalkan perbuatan syirik kepada-Nya. Dalam kitab al-Mughni karya
Ibnu Hisyam, berkaitan dengan firman-Nya, ‘Allaa tusyriku bihii syaian’,
terdapat 7 pendapat, dan yang paling bagus di antaranya adalah penafsiran yang
disebutkan oleh Ibnu Katsir ini. Kemudian Allah Ta’ala telah menjelaskan kepada
kamu hal tersebut agar kamu tidak berbuat syirik. Lalu salah satu dari keduanya
dibuang dari kalimat tersebut, yaitu kalimat ‘washshookum’, Huruf jar
dan apa yang sebelumnya dibuang dari salah satunya yang lain. Oleh karena
itulah, jika mereka ditanyai mengenai apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw
kepada mereka, mereka menjawab, Beliau bersabda, “Beribadahlah kepada Allah
dan janganlah berbuat syirik kepada-Nya sedikitpun serta tinggalkanlah apa yang
dikatakan oleh nenek moyang kamu,” sebagaimana apa yang dikatakan oleh Abu
Sufyan kepada Heraklius. Inilah yang dipahami oleh Abu Sufyan dan selainnya
dari sabda Rasulullah saw kepada mereka, “Katakanlah Laa ilaaha illaah, tiada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, niscaya kamu akan beruntung!.” (Imam
Alu Syaikh, Fathul Majid syarah, I: 36-37)
Dakwah apapun mesti menjadikan ajaran tauhid sebagai bingkainya, itulah
pelajaran yang diambil diantaranya dari pemaparan Imam Ibnu Katsir bahwa agar
tidak musyrik kepada Allah Ta’ala itu merupakan wasiat dari Allah ‘Azza wa
Jalla, artinya perlu sangat diperhatikan, terus diulang-ulang, dan diprogramkan
agar umat dakwah (mad’u) tidak terjerumus kepada kemusyrikan.
Beribadah tanpa musyrik contohnya shalat tanpa mendatangi dukun,
menebang pohon tanpa ada keyakinan perbuatan tersebut akan menimbulkan celaka,
menjauhi praktek ziarah kubur para wali dan orang shalih saat perbuatan itu
dalam rangka meminta-minta kepada para wali dan orang shalih yang telah wafat,
tidak menganggap air putih yang diberi do’a lantas dapat menyembuhkan, dan
contoh-contoh lainnya dalam konteks ibadah tanpa musyrik akbar.
Adapun ibadah tanpa musyrik ashghar
adalah dengan mengikhlaskan segala ibadah tanpa riya; karena tanpa tauhid,
ibadah tidak akan bernilai apa-apa.
Semoga kehidupan kita dijauhkan dari perbuatan musyrik, karena dengan
musyrik sia-sialah semua ibadah. Aamiin.
Wallaahu A’lam, abu akyas (kontributor).
Illustrator: Ridwan Firdaus (Lensa Firdaus, Asatidz MI PPI 259 Firdaus).
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan